Toleransi dan Tantangan: Kisah Dua Pekerja Muslim di Jepang Selama Ramadhan
Toleransi dan Tantangan: Kisah Dua Pekerja Muslim di Jepang Selama Ramadhan
Ramadhan di Jepang, bagi pekerja Muslim, menghadirkan pengalaman unik yang bercampur antara toleransi dan tantangan. Dua kisah berikut menggambarkan bagaimana perbedaan budaya dan keyakinan dapat berpadu dalam lingkungan kerja di Negeri Sakura.
Eka, seorang international sales specialist yang telah enam tahun bermukim di Tokyo, menemukan kemudahan beribadah berkat inisiatifnya sendiri. Ia berhasil mendapatkan ruang shalat di kantornya setelah secara langsung menyampaikan kebutuhannya kepada atasan. Ruangan yang awalnya digunakan sebagai gudang kini disulap menjadi tempat ibadah yang nyaman. Prosesnya pun terbilang mudah. Setelah menyampaikan keinginannya, presiden perusahaan, yang Eka sebut sachou, langsung menyetujui permintaannya dan menyediakan matras serta handuk untuk alas shalat. Pengalaman ini menekankan pentingnya komunikasi terbuka antara karyawan dan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan keagamaan.
Kisah Eka menunjukkan bahwa perusahaan di Jepang mampu mengakomodasi kebutuhan ibadah karyawan Muslim jika ada komunikasi yang efektif. Sikap proaktif Eka dalam menyampaikan kebutuhannya menjadi kunci keberhasilannya. Ia tidak ragu untuk berinisiatif dan berkomunikasi langsung dengan atasan, menunjukkan bahwa keberanian untuk berbicara merupakan langkah penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang inklusif.
Berbeda dengan pengalaman Eka, Aya, seorang pekerja di Namegata, Prefektur Ibaraki, menghadapi situasi yang lebih menantang. Di tahun ke-7 masa kerjanya di Jepang, ia belum menemukan mushola di kantornya. Namun, fleksibilitas waktu kerja yang diberikan perusahaan memungkinkannya untuk menjalankan shalat lima waktu dengan nyaman. Ia memanfaatkan ruang rapat yang kosong untuk beribadah dan diberi kelonggaran waktu sholat selama jam istirahat makan siang dan waktu khusus beberapa menit di sore hari untuk menjalankan shalat Ashar.
Meskipun tidak terdapat fasilitas khusus untuk Muslim, Aya mendapatkan dukungan dan pemahaman dari lingkungan kerjanya. Rekan-rekan kerjanya, meskipun awalnya penasaran dengan kebiasaan puasanya, menunjukkan rasa hormat dan pemahaman yang meningkat seiring waktu. Pertanyaan-pertanyaan mengenai puasa Ramadhan, mulai dari larangan makan dan minum hingga pandangan agama Islam terhadap puasa, memang kerap muncul. Namun, Aya berhasil menjelaskan dengan sabar dan bahkan pernah menggunakan penelitian ilmiah dari Jepang untuk menjawab rasa ingin tahu rekan kerjanya. Ia menunjukkan pentingnya edukasi dan kesabaran dalam menjembatani perbedaan budaya dan kepercayaan.
Dukungan dari atasan juga menjadi faktor penting dalam pengalaman Aya. Bosnya, yang berpengalaman bepergian ke luar negeri, menunjukkan pengertian yang mendalam terhadap Ramadhan. Ucapan selamat Ramadhan, pemberian makanan oleh ibu bos, serta informasi kepada tamu kantor mengenai puasanya, menunjukkan bentuk penghargaan yang bermakna.
Kedua kisah ini memberikan gambaran yang beragam tentang pengalaman pekerja Muslim di Jepang selama Ramadhan. Meskipun tantangan dan kondisi yang dihadapi berbeda, keduanya menyoroti pentingnya komunikasi yang baik, fleksibilitas perusahaan, dan rasa hormat antar rekan kerja dalam menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan menghargai keberagaman. Pengalaman ini dapat menjadi inspirasi bagi perusahaan lain untuk lebih memahami dan mengakomodasi kebutuhan karyawan dari berbagai latar belakang agama dan budaya.