Revisi UU TNI: Mengkaji Kembali Potensi Kebangkitan Dwifungsi Militer
Revisi UU TNI: Mengkaji Kembali Potensi Kebangkitan Dwifungsi Militer
Perdebatan seputar revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali memanas. Rancangan revisi ini, yang berpotensi memperluas keterlibatan prajurit aktif TNI dalam jabatan sipil di kementerian dan lembaga pemerintahan, menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya era dwifungsi ABRI—suatu masa di mana militer memiliki peran ganda, baik sebagai kekuatan pertahanan maupun sebagai aktor politik dan pemerintahan.
Sejarah mencatat bahwa dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang diterapkan pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, merupakan sebuah kebijakan kontroversial. Konsep ini, yang didasarkan pada gagasan 'jalan tengah' A.H. Nasution, memberikan militer peran yang luas, melampaui fungsi pertahanan dan keamanan. ABRI tidak hanya terlibat dalam penyelenggaraan keamanan negara, tetapi juga menduduki posisi kunci di lembaga legislatif, eksekutif, dan bahkan badan-badan usaha milik negara. Buku Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI (1984) karya Arifin Tambunan dkk. menjabarkan peran ganda ABRI sebagai penggerak dan penstabil kehidupan berbangsa dan bernegara, yang pada praktiknya menimbulkan dampak yang kompleks.
Penerapan dwifungsi ABRI, yang dilegalkan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982, menimbulkan dominasi militer dalam pemerintahan. Banyak perwira aktif ABRI menduduki kursi di DPR, MPR, DPD, bahkan hingga posisi menteri. Seperti yang diulas dalam jurnal Kebijakan Dwifungsi ABRI dalam Perluasan Peran Militer di Bidang Sosial Politik tahun 1966-1998 (2016) karya D.W. Firdaus, hal ini mengakibatkan kurangnya transparansi dan partisipasi sipil dalam pengambilan keputusan. Dominasi militer juga memicu pelanggaran HAM dan kerusuhan. Puncaknya, di era 1990-an, keterlibatan militer begitu dalam hingga ke berbagai sektor, dari pemerintahan daerah hingga lembaga peradilan.
Era Reformasi 1998 menandai berakhirnya dwifungsi ABRI. Setelah Presiden Soeharto lengser, TNI secara bertahap ditarik dari jabatan sipil. UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI membatasi keterlibatan TNI aktif hanya pada 10 kementerian/lembaga. Namun, revisi UU TNI yang tengah dibahas berencana memperluas jumlah tersebut menjadi 16 kementerian/lembaga, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, Bakamla, Kejaksaan Agung, dan terbaru, BNPP. Penambahan BNPP, menurut anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin, didasarkan pada pertimbangan kerawanan dan kondisi perbatasan.
Perluasan keterlibatan TNI aktif ini memicu kembali kekhawatiran akan kebangkitan dwifungsi. Meskipun revisi UU TNI bertujuan untuk meningkatkan sinergi TNI dalam mendukung program pemerintah, potensi penyalahgunaan wewenang dan pengulangan masa lalu tetap menjadi perhatian serius. Pertanyaan kunci yang perlu dijawab adalah bagaimana memastikan agar keterlibatan TNI tetap sebatas pada fungsi pendukung dan tidak mengarah pada dominasi politik dan pemerintahan. Transparansi dan mekanisme pengawasan yang ketat menjadi krusial untuk mencegah kembalinya era dwifungsi dan memastikan TNI tetap profesional dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.