Kontroversi RUU TNI dan Protes Publik atas Kembalinya Dwifungsi ABRI
Kontroversi RUU TNI dan Protes Publik atas Kembalinya Dwifungsi ABRI
Pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) TNI yang digelar di Hotel Fairmont, Jakarta pada 14-15 Maret 2025, telah memicu kontroversi dan demonstrasi publik. Perdebatan ini bukan hanya terkait isi RUU itu sendiri, tetapi juga menyangkut isu sensitif yang terkait erat dengan sejarah Indonesia: kembalinya potensi dwifungsi ABRI. Kehadiran Koalisi Reformasi Sektor Keamanan di lokasi rapat, yang secara lantang menolak pembahasan tertutup dan menentang dwifungsi ABRI, menjadi sorotan utama. Aksi protes mereka, yang terekam dan tersebar luas di media sosial, telah memantik diskusi nasional tentang implikasi dari kebijakan tersebut terhadap demokrasi dan pertahanan negara.
Para demonstran dengan tegas menyatakan penolakan mereka terhadap apa yang mereka pandang sebagai upaya untuk menghidupkan kembali peran ganda militer dalam politik. Seruan “hentikan pembahasan RUU TNI” dan “tolak dwifungsi ABRI” menjadi inti tuntutan mereka. Kehadiran aksi protes ini menandai kekhawatiran segmen masyarakat yang melihat potensi kembalinya dwifungsi ABRI sebagai ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan sipil supremasi yang telah susah payah dibangun selama masa reformasi.
Sejarah Dwifungsi ABRI: Jalan Tengah yang Berujung Kontroversi
Konsep dwifungsi ABRI, yang pertama kali dikemukakan oleh Jenderal A.H. Nasution pada tahun 1958, awalnya digambarkan sebagai ‘jalan tengah’. Nasution berargumen bahwa peran TNI tidak semata-mata sebagai alat negara seperti di negara-negara Barat, namun juga sebagai kekuatan sosial yang berperan aktif dalam pembangunan nasional. Hal ini diinterpretasikan sebagai pembenaran atas keterlibatan militer dalam bidang politik dan sosial, menjalankan fungsi tempur dan pembinaan wilayah/masyarakat.
Namun, interpretasi dan penerapan konsep ini selama Orde Baru menghasilkan dinamika yang berbeda. Landasan yuridis konstitusional yang diperoleh dari pasal 2 ayat 1 UUD 1945 dimanfaatkan untuk memberikan jatah keanggotaan militer di lembaga-lembaga politik seperti DPR dan MPR. Sistem ini menghasilkan paradigma ketatanegaraan yang tidak lazim dalam negara demokrasi, di mana militer memiliki posisi strategis dalam politik tanpa melalui proses pemilihan umum. Hal inilah yang kemudian menjadi titik awal kritik dan penolakan terhadap dwifungsi ABRI.
Tentangan dan Kritik atas Dwifungsi ABRI
Sejak era Orde Baru, pelaksanaan dwifungsi ABRI menuai berbagai kritik dan tentangan. Kritik datang dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh masyarakat, intelektual, mahasiswa, hingga dari kalangan internal militer sendiri. Salah satu contohnya adalah munculnya “Seskoad Paper” pada tahun 1977, sebuah dokumen yang dihasilkan oleh perwira tinggi di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) yang mendesak ABRI untuk menjaga netralitasnya dalam politik dan pemilihan umum.
Mahasiswa juga menjadi salah satu kelompok yang paling vokal dalam menyuarakan kritik dan penolakan terhadap dwifungsi ABRI. Dari tahun 1974 hingga 1978, dan berlanjut hingga pasca-Orde Baru, mahasiswa secara aktif melakukan demonstrasi, memasang poster, dan menyebarkan pesan yang menyerukan agar ABRI kembali kepada rakyat dan menolak keterlibatan militer dalam politik. Slogan “Kembalikan ABRI kepada Rakyat” menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi militer dalam kehidupan politik Indonesia.
Puncaknya, pada masa transisi menuju reformasi, tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI menjadi salah satu poin penting dalam gerakan mahasiswa. Kongres Mahasiswa Indonesia tahun 1999 secara tegas menyatakan visi reformasi yang mencakup penghapusan dwifungsi ABRI sebagai prasyarat terwujudnya sistem demokrasi yang sejati. Sejarah panjang penolakan ini menunjukkan betapa kontroversial dan sensitifnya isu dwifungsi ABRI dalam konteks demokrasi Indonesia.