Pelestarian Ukiran Bali di Banyuwangi: Tantangan Regenerasi dan Harapan Masa Depan
Pelestarian Ukiran Bali di Banyuwangi: Tantangan Regenerasi dan Harapan Masa Depan
Di tengah hiruk-pikuk modernitas, sebuah seni tradisional menghadapi tantangan besar: regenerasi. Kayan Eka Mahardika, satu-satunya pemahat ukiran Bali yang tersisa di Banyuwangi, Jawa Timur, mengungkapkan keprihatinannya akan sulitnya menemukan penerus dalam keahliannya yang langka ini. Di Bale Banjar Ramayana, Dusun Patoman Tengah, Desa Patoman, Kecamatan Blimbingsari, ia masih tekun mengukir, tangannya lincah membentuk pola-pola khas Bali pada selembar karton, mempersiapkan karya untuk perayaan Ogoh-ogoh menjelang Nyepi.
Perjalanan Kayan dalam dunia pahat ukiran Bali dimulai sejak tahun 2002-2003, setelah ia menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia meninggalkan Banyuwangi untuk belajar langsung di Bali, mencari ilmunya dari para maestro ukiran di Pulau Dewata. Ketertarikannya pada seni ukir Bali telah tertanam sejak kecil, terinspirasi oleh para pengrajin yang ia lihat membangun dan menghias pura-pura. Dengan ketekunan yang luar biasa, ia mempelajari segala hal yang dibutuhkan, mulai dari mengenal berbagai alat pahat, membuat sketsa dan pola, hingga mengendalikan emosi yang sangat berpengaruh terhadap kualitas karya. Hasilnya luar biasa: ia mampu menghasilkan berbagai karya seni dari beragam media, mulai dari kertas dan kayu hingga kulit sapi; menciptakan wayang dan barong yang tak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga melestarikan warisan budaya leluhur.
Namun, di balik kesuksesan individualnya, tersimpan keprihatinan yang mendalam. Kayan menyoroti minimnya regenerasi dalam seni pahat ukiran Bali di Banyuwangi. Ia adalah satu-satunya perajin yang masih mempertahankan keahlian ini. Ia mengakui, berbagai faktor berkontribusi pada kesulitan regenerasi tersebut. Salah satunya adalah perbedaan pola pikir generasi muda saat ini. Banyak anak muda yang menginginkan penghasilan instan, sementara seni pahat ukiran Bali membutuhkan ketekunan dan proses belajar yang panjang, bertahun-tahun lamanya, mulai dari memahami alat, mengembangkan kreativitas pola ukir, hingga menghasilkan karya yang berkualitas. Proses ini membutuhkan dedikasi dan kesabaran yang tinggi, sesuatu yang mungkin kurang diminati oleh generasi sekarang.
Tantangan ini bukan hanya masalah individu, melainkan juga tantangan bagi pelestarian warisan budaya Indonesia. Kehilangan keahlian tradisional seperti ini akan berarti hilangnya kekayaan budaya bangsa. Kayan berharap, generasi muda Banyuwangi dapat melihat lebih jauh dari sekedar keuntungan materi. Ia ingin mengingatkan bahwa seni pahat ukiran Bali juga bisa menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan jika ditekuni dengan sungguh-sungguh. Melalui kecintaan pada budaya dan kesabaran dalam proses belajar, ia berharap akan muncul generasi penerus yang mampu menjaga dan menghidupkan kembali keindahan seni ukiran Bali di Banyuwangi.
Ke depannya, upaya pelestarian ini memerlukan kerjasama antara berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan komunitas seni. Program pelatihan dan workshop yang terstruktur, serta pemberian insentif bagi generasi muda yang tertarik menekuni seni ukiran Bali, dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah regenerasi ini. Melalui upaya-upaya tersebut, harapan Kayan untuk melihat regenerasi pemahat ukiran Bali di Banyuwangi dapat terwujud, dan warisan budaya ini dapat tetap lestari bagi generasi mendatang.