Rumah Dinas Gubernur DKI Jakarta Kembali Dihuni: Sejarah dan Makna di Balik Keputusan Pramono Anung

Rumah Dinas Gubernur DKI Jakarta Kembali Dihuni: Sejarah dan Makna di Balik Keputusan Pramono Anung

Di tengah hiruk pikuk Ibu Kota, sebuah bangunan bersejarah kembali menjadi pusat perhatian. Rumah dinas Gubernur DKI Jakarta, beralamat di Jalan Taman Suropati Nomor 7, Menteng, Jakarta Pusat, setelah sekian lama kosong, kini akan kembali dihuni oleh Gubernur Pramono Anung. Keputusan ini bukan sekadar pemilihan tempat tinggal, melainkan juga memiliki makna historis dan personal yang mendalam bagi sang Gubernur.

Bangunan bergaya kolonial ini, yang dibangun pada tahun 1939 di masa penjajahan Belanda (saat itu bernama Burgemeester Bisschopplein nummer 7), telah menyaksikan pergantian kepemimpinan Jakarta selama puluhan tahun. Sejak dihuni pertama kali oleh Wali Kota Batavia, EA Voorneman pada tahun 1941, rumah ini telah menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Jakarta, dari masa penjajahan hingga kemerdekaan, dan menjadi simbol kepemimpinan Ibu Kota. Setelah kemerdekaan, Wali Kota Jakarta Raya pertama, Sjamsuridjal, menjadi pemimpin lokal pertama yang menempatinya, menandai dimulainya era baru kepemimpinan Jakarta di tangan bangsa Indonesia sendiri.

Sejumlah Gubernur DKI Jakarta telah menempati rumah bersejarah ini, termasuk Sutiyoso selama dua periode kepemimpinannya, Fauzi Bowo selama lima tahun, dan Joko Widodo selama dua tahun sebelum menjabat sebagai Presiden RI. Namun, beberapa Gubernur lainnya, seperti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Anies Baswedan, memilih untuk tinggal di kediaman pribadi mereka, menjadikan rumah dinas sebagai tempat menerima tamu dan kegiatan resmi saja.

Keputusan Pramono Anung untuk menempati rumah dinas ini, setelah sebelumnya menolak beberapa penawaran rumah dinas lainnya selama masa jabatannya di pemerintahan, didorong oleh desakan sang istri. Dalam unggahan di akun Instagram resminya, @pramonoanungw, Pramono menceritakan bagaimana istrinya terus membujuknya untuk menerima anugerah jabatan Gubernur ini dengan menempati rumah dinas. Istri Gubernur mengingatkannya akan filosofi Jawa, menekankan pentingnya menerima anugerah yang diberikan, sebuah ajakan yang akhirnya meluluhkan hati sang Gubernur.

Pertimbangan tersebut didasari oleh sebuah pemahaman filosofis yang mendalam. Bagi Pramono, menempati rumah dinas ini bukanlah sekadar pilihan tempat tinggal, tetapi juga sebuah penghormatan terhadap sejarah Jakarta dan simbol tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Ia berharap keputusan ini membawa keberkahan bagi kepemimpinannya dan bagi seluruh warga Jakarta. Walaupun belum diumumkan tanggal pasti kepindahannya, namun kepastian bahwa rumah dinas tersebut akan kembali berfungsi sebagaimana mestinya – sebagai kediaman Gubernur sekaligus simbol kepemimpinan – telah disambut dengan baik.

Rumah dinas Gubernur DKI Jakarta bukanlah sekadar bangunan tua, melainkan sebuah monumen hidup yang menyimpan kenangan dan sejarah panjang kepemimpinan Jakarta. Keputusan Pramono Anung untuk menghuni rumah dinas ini bukan hanya menandai berakhirnya masa vakum, tetapi juga menandai babak baru dalam sejarah rumah bersejarah ini. Kehadiran keluarga Gubernur di rumah dinas ini diharapkan akan menghidupkan kembali suasana rumah tersebut dan memberikan sentuhan baru bagi bangunan bersejarah tersebut.