Memahami Esensi Kecantikan: Dari Wajah Cantik hingga Kecantikan Hati

Memahami Esensi Kecantikan: Dari Wajah Cantik hingga Kecantikan Hati

Perbincangan mengenai kecantikan kerap kali berpusat pada penampilan fisik. Berbagai majalah dan media sosial membanjirkan kita dengan standar kecantikan kontemporer, ditandai dengan wajah-wajah rupawan yang terpilih dalam daftar 'wanita tercantik' tahunan seperti yang dirilis Nubia Magazine dan TC Candler. Kehadiran lima artis Indonesia dalam daftar 100 wanita tercantik dunia versi TC Candler, misalnya, memicu reaksi beragam, terutama keinginan untuk meniru standar kecantikan tersebut. Banyak perempuan kemudian berlomba-lomba menggunakan produk kecantikan untuk mencapai penampilan yang dianggap ideal, seringkali dengan harapan instan.

Namun, di balik hiruk pikuk mengejar kecantikan fisik, pertanyaan mendasar muncul: Apakah kecantikan sejati hanya terletak pada paras? Pandangan ini perlu dikaji ulang, mengingat kecantikan sejati memiliki dimensi yang jauh lebih luas dan mendalam. Imam Ghazali, dalam karyanya Ihya' Ulum al-Din, menjelaskan bahwa kecantikan hakiki tidak hanya terwujud dalam penampilan fisik, tetapi lebih penting pada kesucian hati, akhlak mulia, dan hubungan seseorang dengan Tuhan. Hati yang bersih akan memancarkan cahaya yang membuat seseorang terlihat lebih menawan, bahkan lebih mempesona dari sekadar kecantikan fisik semata.

Islam sendiri menekankan hal ini. Pepatah Arab, "ليسَ الْجَمَالُ بِاَثْوَابِ تُزَيِّنُهَا * إِنَّ الْجَمَالَ جَمَالُ الْعِلْمِ وَاْلأَدَابِ", dengan arti "Tidak dikatakan cantik seseorang dikarenakan memakai perhiasan, tetapi cantiknya seseorang disebabkan mempunyai ilmu dan adab", menunjukkan bahwa kecantikan sejati melekat pada ilmu dan akhlak. Bahkan dalam pemilihan pasangan hidup, agama lebih diutamakan daripada kecantikan fisik, sebagaimana terlihat dalam kriteria pemilihan istri dalam ajaran Islam (nasab, harta, kecantikan, dan agama).

Beberapa tokoh perempuan dalam sejarah Islam menjadi contoh nyata kecantikan hakiki. Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Rasulullah, dikenal sebagai perempuan cantik, namun lebih dikenal karena keberanian, kesetiaan, pengorbanan, dan kesuksesannya sebagai pedagang. Fatimah binti Muhammad, putri Rasulullah, selain kecantikannya, juga dikenal akan keilmuannya di bidang tata bahasa, hadits, fikih, dan teologi. Hafshah binti Umar bin Khattab, dikenal sebagai salah satu penghafal Al-Quran pertama dan ahli ibadah. Ketiga sosok ini menunjukkan bahwa kecantikan sejati bukan hanya soal paras, tetapi juga tentang kontribusi dan amal saleh.

Konsep kecantikan hakiki juga digemakan dalam agama lain. Alkitab (1 Petrus 3:3-4) menekankan perhiasan tersembunyi di dalam hati, sedangkan Bhagavad Gita (16:1-3) menyebut kesucian hati, ketulusan, dan kasih sayang sebagai kecantikan sejati. Dhammapada (306) pun menyatakan bahwa tidak ada perhiasan yang lebih indah daripada perilaku yang baik. Secara universal, agama-agama mengajarkan bahwa kecantikan sejati terletak pada kebaikan hati, kebijaksanaan, dan akhlak mulia. Hati yang tulus dan penuh kasih sayang akan selalu tampak indah di mata orang lain dan di hadapan Tuhan. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian." (HR. Muslim)

Semoga pemahaman ini dapat menjadi refleksi bagi kita semua, khususnya perempuan, untuk tidak hanya terpaku pada kecantikan fisik, tetapi juga berlomba-lomba menunjukkan kecantikan hakiki yang berakar pada hati, akhlak, ilmu, dan amal saleh. Kecantikan yang sejati adalah kecantikan yang berdampak positif bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar.