Misteri Okupansi Hotel Bali: Lonjakan Wisatawan Tak Berbanding Lurus dengan Tingkat Hunian

Misteri Okupansi Hotel Bali: Lonjakan Wisatawan Tak Berbanding Lurus dengan Tingkat Hunian

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali tengah menghadapi dilema yang cukup kompleks. Meskipun angka kedatangan wisatawan ke Pulau Dewata mengalami peningkatan signifikan, tingkat hunian hotel, khususnya hotel non-bintang, justru menunjukkan tren penurunan yang mengkhawatirkan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai distribusi wisatawan dan potensi kebocoran pendapatan bagi sektor perhotelan Bali.

Ketua PHRI Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace), mengungkapkan kekhawatirannya terkait disparitas antara jumlah wisatawan dan okupansi hotel. Ia menduga adanya sejumlah faktor yang saling berkaitan dan perlu diselidiki lebih lanjut. Salah satu faktor utama yang diidentifikasi adalah keberadaan akomodasi, seperti vila dan hotel kecil, yang beroperasi di luar pengawasan PHRI. Hal ini mengakibatkan kesulitan dalam memperoleh data akurat mengenai tingkat hunian secara keseluruhan. "Keberadaan akomodasi yang tidak terdaftar ini, diduga kuat mengambil alih sebagian pasar yang seharusnya menjadi pangsa hotel-hotel yang terdaftar," ungkap Cok Ace dalam keterangannya pada Senin (17/3/2025). Data yang diperoleh PHRI menunjukkan okupansi hotel non-bintang hanya berkisar 33-35%, sementara hotel berbintang mencatat angka yang lebih tinggi, yaitu 63%. Perbedaan signifikan ini semakin memperkuat dugaan adanya penyimpangan dalam pencatatan dan pengelolaan data hunian.

Selain itu, Cok Ace juga menyoroti dampak Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran pemerintah. Inpres tersebut, menurutnya, telah mengurangi jumlah kunjungan wisatawan domestik dari kalangan pemerintahan, yang biasanya menyumbang signifikan terhadap okupansi hotel. Lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa sebagian besar wisatawan domestik yang datang bersama keluarga cenderung memilih menginap di vila. Namun, belum diketahui secara pasti berapa banyak dari vila-vila tersebut yang terdaftar dan tercatat secara resmi. "Ini menjadi tantangan besar bagi kami," ujar Cok Ace. "Kesulitan dalam melacak okupansi hotel disebabkan oleh banyaknya akomodasi yang tidak tercatat, sehingga data yang kami miliki tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan."

PHRI Bali kini tengah berupaya untuk melakukan evaluasi menyeluruh guna mengidentifikasi akar permasalahan dan mencari solusi yang tepat. Langkah-langkah strategis yang akan diambil antara lain adalah meningkatkan pengawasan terhadap akomodasi yang belum terdaftar, melakukan sosialisasi dan edukasi kepada para pelaku usaha di sektor pariwisata, dan berkoordinasi dengan pihak terkait, seperti pemerintah daerah, untuk menciptakan sistem pencatatan dan pelaporan data yang lebih terintegrasi dan akurat. Tujuannya adalah untuk memastikan data yang akurat dan dapat diandalkan sebagai dasar dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengembangan sektor pariwisata Bali ke depan. Keberadaan data yang akurat menjadi kunci untuk mengatasi disparitas antara jumlah wisatawan dan tingkat hunian hotel, serta untuk meningkatkan pendapatan sektor perhotelan Bali secara keseluruhan. PHRI Bali berharap dapat segera menemukan solusi yang efektif untuk mengatasi masalah ini dan memastikan keberlanjutan industri pariwisata di Bali.

Berikut beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:

  • Rendahnya okupansi hotel non-bintang (33-35%) dibandingkan hotel berbintang (63%).
  • Dugaan adanya akomodasi tidak terdaftar yang mengambil alih pasar.
  • Dampak Inpres Nomor 1 Tahun 2025 terhadap kunjungan wisatawan domestik dari unsur pemerintah.
  • Tren wisatawan domestik yang memilih menginap di vila.
  • Kesulitan melacak okupansi akibat banyaknya akomodasi yang tidak tercatat.
  • Upaya PHRI Bali untuk melakukan evaluasi dan mencari solusi.