Pemberhentian Massal di Voice of America: Dampak Kebijakan Trump terhadap Media Internasional

Pemberhentian Massal di Voice of America: Dampak Kebijakan Trump terhadap Media Internasional

Pemerintahan Presiden Donald Trump telah memicu gelombang kejut di dunia media internasional dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap staf Voice of America (VOA) dan beberapa lembaga media lain yang berada di bawah naungan US Agency for Global Media (USAGM). Langkah kontroversial ini, yang diumumkan akhir pekan lalu, telah menimbulkan kekhawatiran luas tentang masa depan jurnalisme independen dan pengaruh Amerika Serikat di kancah global. Keputusan ini juga dianggap sebagai upaya pemangkasan besar-besaran terhadap pemerintah federal, sejalan dengan kebijakan efisiensi anggaran pemerintahan Trump. Meskipun belum ada angka pasti yang dirilis, pemberhentian ini terutama berdampak pada staf kontrak, yang mayoritas bekerja di layanan bahasa non-Inggris dan bukan warga negara AS.

Para pekerja kontrak menerima pemberitahuan melalui surel yang memerintahkan mereka untuk menghentikan seluruh aktivitas kerja dan dilarang mengakses gedung atau sistem VOA. Sementara itu, staf tetap (full-time), yang memiliki perlindungan hukum lebih besar, sementara itu ditempatkan cuti administratif. Keputusan ini mengakibatkan terhentinya operasi beberapa program VOA yang kritis, terutama layanan siaran dalam bahasa asing, yang telah memainkan peran penting dalam menyampaikan informasi ke negara-negara yang memiliki kebebasan pers terbatas. Direktur VOA, Michael Abramowitz, mengecam keras kebijakan ini, menggambarkannya sebagai tindakan yang membungkam VOA, lembaga yang telah beroperasi selama lebih dari 80 tahun. Abramowitz, yang juga termasuk dalam daftar PHK, mengakui perlunya reformasi di VOA, namun menekankan bahwa metode yang dipilih oleh pemerintahan Trump justru kontraproduktif terhadap misi utama VOA untuk menyebarkan informasi dan program kebudayaan ke seluruh dunia.

Langkah ini juga berdampak signifikan terhadap lembaga media lain di bawah USAGM, termasuk Radio Free Europe/Radio Liberty dan Radio Free Asia. Lembaga-lembaga ini, yang telah memainkan peran penting dalam melawan propaganda selama Perang Dingin dan pasca-Perang Dingin, kini menghadapi masa depan yang tidak pasti. USAGM sendiri, yang memiliki lebih dari 3.000 karyawan dan telah meminta dana sebesar US$950 juta untuk tahun fiskal ini, kini tengah menghadapi perubahan besar yang berpotensi mengubah lanskap media internasional. Perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh Presiden Trump pada hari Jumat sebelumnya, menjadi dasar hukum dari PHK massal ini dan telah memicu kritik luas dari berbagai pihak, termasuk para jurnalis, organisasi kebebasan pers, dan anggota parlemen yang mengkhawatirkan implikasi kebijakan ini terhadap demokrasi dan kebebasan informasi.

Pengurangan secara drastis terhadap anggaran dan tenaga kerja USAGM menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana AS akan mempertahankan pengaruhnya di dunia internasional. Dengan pemotongan ini, akses bagi masyarakat di negara-negara yang tidak memiliki kebebasan pers untuk mendapatkan informasi dari sumber independen kini menjadi lebih terbatas. Ke depannya, dampak kebijakan ini terhadap kebebasan pers dan kredibilitas Amerika Serikat di mata dunia internasional masih perlu dipantau dan dianalisis secara seksama.

  • Beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:
    • PHK massal di VOA dan media USAGM lainnya berdampak luas pada layanan siaran bahasa asing.
    • Staf kontrak, terutama yang bukan warga negara AS, paling terdampak.
    • Keputusan ini menimbulkan kekhawatiran tentang masa depan jurnalisme independen dan pengaruh AS.
    • Direktur VOA mengkritik keras keputusan ini, meskipun mengakui perlunya reformasi.
    • USAGM menghadapi perubahan besar yang berpotensi mengubah lanskap media internasional.
    • Dampak jangka panjang terhadap kebebasan pers dan kredibilitas AS perlu dipantau.