Kasus Korupsi Timah: Hukuman Bos Smelter Diperberat Menjadi 18 Tahun Penjara
Kasus Korupsi Timah: Hukuman Bos Smelter Diperberat Menjadi 18 Tahun Penjara
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan vonis lebih berat kepada Tamron alias Aon, pemilik CV Venus Inti Perkasa dan PT Menara Cipta Mulia, yang terbukti terlibat dalam kasus korupsi pengelolaan timah. Putusan banding yang dibacakan pada Senin, 17 Maret 2025, menaikkan hukuman Tamron dari 8 tahun penjara menjadi 18 tahun penjara. Selain itu, ia juga dibebankan denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp 3.538.932.640.663,67 (Rp 3,5 triliun). Vonis ini membatalkan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 27 Desember 2024 yang sebelumnya menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar dengan kewajiban membayar uang pengganti senilai yang sama.
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut merinci bahwa Tamron terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, serta Pasal 3 atau Pasal 4 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kasus ini bermula dari dugaan keterlibatan Tamron dalam pembelian dan pengumpulan bijih timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah, melalui CV Venus Inti Perkasa dan perusahaan afiliasinya, serta bekerja sama dengan beberapa smelter swasta lainnya, yaitu PT Refined Bangka Tin, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa. Jaksa penuntut umum sebelumnya telah membuktikan bahwa Tamron dan rekannya mengetahui asal usul bijih timah tersebut dan adanya kemahalan harga dalam kerjasama sewa peralatan processing pengolahan logam. Kerugian negara akibat tindakan terdakwa diperkirakan mencapai Rp 300 triliun.
Perlu ditekankan bahwa peningkatan hukuman ini bukan hanya menyasar Tamron. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga memperberat hukuman sejumlah terdakwa lain dalam kasus korupsi timah yang sama. Salah satu contohnya adalah pengusaha Harvey Moeis, yang hukumannya dinaikkan dari 6,5 tahun menjadi 20 tahun penjara. Hal ini menunjukkan keseriusan penegak hukum dalam menindak pelaku korupsi yang merugikan negara secara masif. Kasus ini menjadi bukti nyata betapa pentingnya pengawasan dan penegakan hukum yang ketat dalam sektor pertambangan untuk mencegah praktik-praktik ilegal yang merugikan negara dan merusak lingkungan.
Langkah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam memperberat hukuman para terdakwa diharapkan dapat memberikan efek jera dan menjadi peringatan bagi pihak-pihak lain yang terlibat dalam kegiatan ilegal di sektor pertambangan. Proses hukum yang adil dan transparan menjadi kunci dalam membangun tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Ke depan, diperlukan kerjasama yang lebih erat antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat, untuk mencegah terjadinya kasus korupsi serupa dan melindungi kekayaan negara.
Berikut poin-poin penting dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta:
- Hukuman Tamron diperberat menjadi 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
- Tamron diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 3,5 triliun.
- Putusan membatalkan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
- Tamron terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU TPPU juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
- Keterlibatan Tamron dalam pembelian bijih timah dari penambang ilegal dan kerjasama dengan beberapa smelter swasta.
- Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 300 triliun.
- Hukuman terdakwa lain juga diperberat, contohnya Harvey Moeis (20 tahun penjara).