Revisi UU TNI Menuai Kontroversi: Kritik Publik Menggema, PPI Jepang Sampaikan Keprihatinan
Revisi UU TNI Menuai Kontroversi: Kritik Publik Menggema, PPI Jepang Sampaikan Keprihatinan
Proses revisi Undang-Undang TNI tengah menjadi sorotan tajam menyusul rapat tertutup yang digelar di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat pada 15 Maret 2025. Langkah tersebut langsung menuai kecaman dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang menilai proses legislasi tersebut kurang transparan dan berpotensi mengancam demokrasi. Mereka mendesak penghentian revisi UU TNI dan mengecam pelaksanaan rapat tertutup di hotel mewah tersebut, mengingat dampaknya terhadap anggaran negara dan keterbukaan proses legislasi.
Sebelumnya, KontraS telah melayangkan surat terbuka kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk menolak pembahasan RUU TNI dan Polri. Wakil Koordinator KontraS, Andrie Yunus, menjelaskan bahwa revisi tersebut dinilai berpotensi memperluas wewenang militer dan mengurangi pengawasan publik terhadap institusi tersebut. Kekhawatiran utama adalah potensi perluasan peran TNI ke jabatan sipil, yang dinilai dapat mengancam supremasi sipil. Andrie menyoroti kurangnya keterlibatan masyarakat dan pakar dalam proses pembahasan revisi UU ini. Ia menyatakan kekecewaannya atas minimnya transparansi dan partisipasi publik yang seharusnya dilibatkan secara aktif dalam proses penting seperti ini, khususnya mereka yang terlibat dalam reformasi sektor keamanan.
Sentimen serupa juga disampaikan oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang. Ketua Umum PPI Jepang, Prima Gandhi, menyatakan dukungan terhadap KontraS dan koalisi masyarakat sipil, serta mendesak pemerintah dan DPR untuk menerbitkan naskah akademik yang menjelaskan urgensi revisi UU TNI. Hal ini, menurut Gandhi, penting untuk menjamin transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembuatan regulasi. PPI Jepang menilai revisi UU TNI berpotensi mengancam demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia, khususnya dengan kemungkinan perluasan peran TNI ke sektor sipil yang dapat ditafsirkan sebagai bentuk dwifungsi TNI. Gandhi khawatir, jika demokrasi dan HAM tidak terjamin, hal itu dapat menyebabkan para mahasiswa Indonesia di luar negeri enggan kembali ke tanah air setelah menyelesaikan studi, memicu brain drain yang merugikan pembangunan bangsa.
Lebih lanjut, Gandhi mempertanyakan pelaksanaan rapat revisi UU TNI di Hotel Fairmont, yang dinilai sebagai preseden buruk di tengah upaya pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran. Ia menilai hal tersebut kontradiktif dengan kebijakan efisiensi anggaran yang digaungkan oleh Presiden Prabowo. Sementara itu, Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin berpendapat bahwa revisi UU TNI diperlukan untuk meningkatkan adaptabilitas TNI dalam menghadapi dinamika global dan perkembangan ancaman, seperti perang siber dan ancaman asimetris. Sjafrie menegaskan bahwa revisi ini bertujuan untuk memberikan landasan hukum yang jelas bagi peran TNI dalam tugas non-militer, tanpa melanggar prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Namun, penjelasan tersebut belum sepenuhnya menjawab kekhawatiran publik terkait potensi pelemahan demokrasi dan penegakan HAM.
Revisi UU TNI juga mencakup poin-poin utama seperti penguatan kebijakan pengembangan industri pertahanan dalam negeri, perjelasan batasan dan mekanisme modernisasi alutsista, jaminan hukum keterlibatan TNI dalam tugas non-militer, peningkatan kesejahteraan prajurit, dan penyesuaian jenjang karier dan usia pensiun. Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menyebutkan hasil pembahasan Panitia Kerja (Panja) RUU TNI, termasuk kemungkinan penambahan kementerian atau lembaga sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif. Namun, detail lebih lanjut mengenai instansi dan ketentuannya masih perlu dikaji lebih lanjut.
Kesimpulannya, revisi UU TNI menimbulkan kontroversi yang signifikan. Ketidakjelasan proses legislasi, kekhawatiran akan melemahnya demokrasi dan HAM, serta pelaksanaan rapat di hotel mewah telah memicu kecaman dari berbagai pihak, termasuk PPI Jepang. Transparansi dan partisipasi publik menjadi kunci untuk memastikan revisi UU TNI tidak justru mengancam nilai-nilai demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.