Persaingan Sengit di Industri AI: Yuanbao Menantang DeepSeek, Mengaburkan Batas Antara Inovasi dan Risiko
Persaingan Sengit di Industri AI: Yuanbao Menantang DeepSeek, Mengaburkan Batas Antara Inovasi dan Risiko
Industri kecerdasan buatan (AI) tengah menyaksikan persaingan yang semakin ketat. Aplikasi AI besutan Tencent, Yuanbao, berhasil merebut posisi teratas aplikasi paling banyak diunduh di iOS App Store China pada awal Maret 2025, menggeser DeepSeek dari puncaknya. Keberhasilan ini merupakan buah dari strategi pemasaran agresif Tencent yang memanfaatkan platform WeChat yang memiliki 1,3 miliar pengguna. Integrasi Yuanbao ke dalam WeChat, termasuk penempatan iklan dan perintah unduh di halaman pencarian, telah mendorong lonjakan pengguna aktif harian Yuanbao hingga mencapai 3 juta pada akhir Februari, meningkat drastis dari hanya ratusan ribu di awal bulan. Kesuksesan Yuanbao ini menjadi sorotan tajam di tengah lanskap industri AI yang dinamis dan kompetitif.
Perusahaan teknologi asal China ini sebelumnya meluncurkan Hunyuan Turbo S, model AI yang diklaim mengungguli DeepSeek. Keunggulan Hunyuan Turbo S terletak pada penggabungan 'fast thinking' dan 'slow thinking', yang meniru proses kognitif manusia untuk menghasilkan respons yang lebih efisien dan mendalam. 'Fast thinking' memberikan respons instan, sementara 'slow thinking' memungkinkan penalaran analitis yang lebih mendalam. Peningkatan kecepatan dan efisiensi ini, khususnya pengurangan first-word latency sebesar 44 persen, membuat Hunyuan Turbo S sangat ideal untuk percakapan umum dan interaksi cepat. Namun, keberhasilan Yuanbao ini juga menimbulkan pertanyaan: seberapa signifikan keunggulan Hunyuan Turbo S dibandingkan dengan DeepSeek R1, yang peluncurannya pada awal Februari lalu sempat mengguncang pasar saham global dan dunia kripto?
Bukan hanya Tencent, pemain besar lainnya juga ikut berlomba. ByteDance, induk perusahaan TikTok, memanfaatkan kekuatan deepfake melalui OmniHuman-1, yang mampu menghasilkan video manusia realistis dari foto atau gambar, melampaui kemampuan deepfake konvensional yang hanya fokus pada wajah. Baidu, raksasa teknologi China lainnya, berencana merilis Ernie 4.5 pada Maret 2025 dan menyediakannya secara open-source pada Juni. Sementara itu, di Amerika Serikat, persaingan juga memanas. OpenAI, perusahaan pelopor AI, menolak tawaran investasi senilai 97,4 miliar dolar AS dari Elon Musk dan konsorsium investor, menimbulkan ketegangan antara kedua pihak. Situasi ini semakin memperumit persaingan global dalam industri AI, khususnya antara Amerika Serikat dan China.
Di tengah persaingan yang sengit ini, Eric Schmidt, mantan CEO Google, memperingatkan negara-negara Barat untuk fokus pada AI open-source untuk bersaing dengan China. Ia menyoroti kendala akses terhadap model AI closed-source bagi universitas dan peneliti Barat. Komisi Eropa merespon dengan rencana pembangunan 4 AI Gigafactory. Namun, di tengah hiruk pikuk persaingan ini, Andrew Barto dan Richard Sutton, penerima Turing Award 2024 dan tokoh kunci dalam pengembangan Reinforcement Learning, menyuarakan keprihatinan. Mereka mengkritik perusahaan AI yang terburu-buru meluncurkan model AI yang belum teruji secara memadai, mengutamakan keuntungan bisnis daripada keselamatan dan keamanan. Mereka menekankan pentingnya penerapan praktik rekayasa yang baik, termasuk aspek keamanan, keandalan, kualitas, dan keberlanjutan lingkungan, untuk memastikan AI yang aman dan bermanfaat bagi umat manusia, baik jangka pendek maupun panjang. Pertanyaan yang muncul adalah, kapan Indonesia akan mampu berkontribusi dalam persaingan global ini dengan mengembangkan AI berbasis open-source, serta memprioritaskan etika dan keselamatan?
Catatan: Informasi tentang tanggal peluncuran dan angka-angka yang disebutkan dalam berita ini merujuk pada konteks tahun 2025 seperti yang tertulis dalam berita asli.