Urgensi Reformasi Sistem Tata Kelola Pasca Penindakan Korupsi di Indonesia
Urgensi Reformasi Sistem Tata Kelola Pasca Penindakan Korupsi di Indonesia
Perbaikan sistem pasca penindakan korupsi merupakan isu krusial yang memerlukan perhatian serius. Jaksa Agung telah menekankan urgensi hal ini, menyoroti pentingnya langkah preventif untuk mencegah terulangnya praktik korupsi. Penindakan hukum semata, tanpa diiringi reformasi sistemik, hanya akan menjadi solusi sementara yang tidak mampu mengatasi akar permasalahan. Sebuah pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi sangat diperlukan untuk menciptakan perubahan berkelanjutan.
Konsep perbaikan sistem ini didasarkan pada beberapa pilar penting. Pertama, visi jangka panjang yang mengintegrasikan penindakan hukum dengan perbaikan tata kelola guna mencegah munculnya kasus serupa di masa mendatang. Hal ini mencakup identifikasi pola korupsi yang cenderung berulang dan merumuskan strategi pencegahan yang efektif. Kedua, upaya melindungi keuangan negara dari kebocoran anggaran yang dapat menghambat tercapainya program-program prioritas untuk kesejahteraan rakyat. Ketiga, peningkatan pemahaman hukum pidana di kalangan birokrat dan pemimpin korporasi. Mereka tidak hanya perlu menguasai tata kelola bisnis, tetapi juga memahami risiko pidana atas penyalahgunaan wewenang dan tindakan yang merugikan keuangan negara. Keempat, mendorong terciptanya persaingan sehat dalam kepemimpinan yang berlandaskan kompetensi dan integritas moral.
Sayangnya, putusan pengadilan dalam kasus korupsi seringkali tidak secara eksplisit memerintahkan perbaikan sistem tata kelola. Hal ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, fokus putusan pengadilan umumnya terbatas pada pembuktian tindak pidana yang didakwakan. Perbaikan sistem tata kelola, meskipun penting, dianggap berada di luar lingkup pembuktian tersebut. Kedua, perbaikan sistem tata kelola jarang dibahas secara rinci dalam dokumen-dokumen persidangan, seperti tuntutan, pembelaan, dan putusan. Akibatnya, tidak ada kewajiban hukum yang jelas bagi instansi atau korporasi untuk melakukan perbaikan sistem setelah putusan pengadilan.
Namun, putusan pengadilan tetap dapat menjadi inspirasi untuk melakukan reformasi sistem. Pertimbangan hukum dalam putusan konkret seringkali memberikan petunjuk arah yang berharga untuk perbaikan sistem tata kelola. Dengan demikian, perbaikan sistem pasca penindakan korupsi dapat dimaknai sebagai reformasi sistemik yang berbasis pada fakta dan pertimbangan hukum dalam perkara korupsi.
Menyerahkan perbaikan sistem sepenuhnya kepada instansi dan BUMN/BUMD memiliki kelemahan. Pergantian pejabat atau CEO, meskipun membawa harapan baru, tidak menjamin terwujudnya perbaikan sistem yang transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi lintas institusi untuk merumuskan dan mengawasi perbaikan sistem tersebut. Kejaksaan, dengan kewenangan di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun), memiliki peran strategis dalam hal ini. Kejaksaan dapat memberikan pendampingan hukum, konsultasi, dan pengawasan dalam merumuskan konsep, strategi, dan evaluasi perbaikan sistem tata kelola.
Kolaborasi yang efektif antara berbagai pihak, termasuk lembaga penegak hukum, pemerintah, dan BUMN/BUMD, menjadi kunci keberhasilan reformasi sistem tata kelola. Tanpa adanya komitmen yang kuat dan sinergi yang optimal, upaya penindakan korupsi akan sia-sia dan korupsi akan terus berulang. Reformasi sistem tata kelola dan peningkatan kesadaran hukum serta etika merupakan langkah yang tidak terpisahkan dalam upaya membangun Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. Inilah kunci untuk memastikan bahwa penindakan korupsi tidak hanya bersifat represif, tetapi juga preventif dan berkelanjutan.
Setia Budi Hartono, Dosen Fakultas Hukum Unsika Karawang