Dilema Kemakmuran: Tantangan Integritas dan Pembangunan di Maluku Utara
Dilema Kemakmuran: Tantangan Integritas dan Pembangunan di Maluku Utara
Provinsi Maluku Utara berdiri di persimpangan jalan yang unik. Di satu sisi, ia menikmati pertumbuhan ekonomi yang pesat, didorong oleh kekayaan sumber daya alam, khususnya nikel. Di sisi lain, provinsi ini menghadapi tantangan serius terkait integritas pemerintahan, sebagaimana tercermin dari skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang rendah. Paradoks ini menghadirkan dilema bagi kepala daerah baru: bagaimana menyeimbangkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan penguatan tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel?
Data menunjukkan pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang signifikan, mencapai angka dua digit dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini didorong oleh booming industri pertambangan nikel dan smelter. Namun, kemakmuran ini belum sepenuhnya berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat. Pendapatan negara yang signifikan dari sektor ini, yang mencapai lebih dari Rp 11 triliun pada tahun 2024, tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan dan pelayanan publik di Maluku Utara. Sebagian besar pendapatan negara bahkan dibukukan di luar provinsi, menciptakan kesenjangan antara potensi ekonomi dan realisasi pembangunan di tingkat daerah.
Maluku Utara sangat bergantung pada transfer dana dari pemerintah pusat. Meskipun menerima dana transfer daerah (TKD) yang besar, mencapai Rp 12,06 triliun pada tahun 2024, provinsi ini tetap mengalami defisit yang signifikan. Hal ini menunjukkan perlunya strategi pengelolaan keuangan daerah yang lebih efektif dan efisien. Kondisi ini diperparah oleh Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi APBN/APBD dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/833/SJ tentang penyesuaian pendapatan dan efisiensi belanja daerah, yang berpotensi semakin membatasi ruang fiskal pemerintah daerah.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa sebagian besar anggaran daerah digunakan untuk belanja pegawai dan operasional, bukan untuk peningkatan pelayanan publik secara langsung. Hanya sekitar 13,36% belanja daerah yang dirasakan langsung oleh masyarakat, yang sebagian besar dialokasikan untuk infrastruktur jalan dan irigasi. Rendahnya alokasi anggaran untuk program sosial dan peningkatan kualitas hidup masyarakat menjadi perhatian serius.
Tantangan integritas pemerintahan juga menjadi fokus utama. Skor IPK Maluku Utara yang rendah menjadi indikator lemahnya tata kelola pemerintahan dan kerentanan terhadap korupsi. Hal ini diperburuk oleh potensi konflik kepentingan antara kepentingan politik dan pembangunan berkelanjutan. Kepala daerah baru dihadapkan pada tugas berat untuk membangun birokrasi yang bersih, transparan, dan akuntabel, serta memastikan bahwa pembangunan ekonomi berkeadilan dan berkelanjutan.
Data lebih lanjut menunjukkan bahwa kemandirian fiskal daerah masih rendah. Meskipun persentase Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap belanja daerah terus meningkat, tingkat kemandirian daerah masih jauh dari ideal. Hal ini menunjukkan perlunya diversifikasi ekonomi dan peningkatan kapasitas daerah dalam mengelola dan meningkatkan PAD. Hal ini penting untuk mengurangi ketergantungan pada dana transfer pemerintah pusat dan memastikan pembangunan yang berkelanjutan.
Untuk mengatasi tantangan ini, kepala daerah perlu mengambil langkah-langkah strategis. Hal ini termasuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, memperkuat penegakan hukum, melakukan reformasi birokrasi, dan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, diperlukan strategi diversifikasi ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada sektor pertambangan dan meningkatkan PAD. Komitmen kuat terhadap integritas dan penegakan hukum mutlak diperlukan untuk memastikan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat Maluku Utara.
Berikut rincian dana transfer pemerintah pusat ke Maluku Utara (2018-2023):
- Pemerintah Provinsi: Rp 13,4 triliun
- Kota Ternate: Rp 5,1 triliun
- Kota Tidore Kepulauan: Rp 5,1 triliun
- Halmahera Selatan: Rp 8,7 triliun
- Halmahera Tengah: Rp 5,2 triliun
- Halmahera Utara: Rp 5,6 triliun
- Halmahera Barat: Rp 4,98 triliun
- Halmahera Timur: Rp 5,3 triliun
- Kepulauan Sula: Rp 4,5 triliun
- Pulau Morotai: Rp 4,4 triliun
- Pulau Taliabu: Rp 3,64 triliun
Total dana transfer selama enam tahun tersebut mencapai Rp 65,9 triliun.