Perbaikan SDM Polri: STIK Sorot Kekerasan, Arogansi, dan Korupsi untuk Tingkatkan Pelayanan Publik

Perbaikan SDM Polri: STIK Sorot Kekerasan, Arogansi, dan Korupsi untuk Tingkatkan Pelayanan Publik

Dalam sebuah seminar di Jakarta pada Senin (17/3/2025), Irjen Pol. Dadang Hartanto, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) Lemdiklat Polri, mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap sejumlah tantangan yang menghambat peningkatan kualitas pelayanan kepolisian kepada masyarakat. Seminar yang dihadiri oleh mahasiswa S1 STIK ini menjadi forum penting untuk membahas permasalahan internal Polri dan mencari solusi strategis guna meningkatkan kepercayaan publik.

Irjen Dadang secara tegas menyinggung masih adanya praktik kekerasan, arogansi, dan perilaku koruptif di tubuh Polri. Menurutnya, ketiga hal tersebut merupakan isu krusial yang harus segera diatasi. Ia menekankan perlunya penataan kembali sistem dan prosedur operasional kepolisian agar lebih berorientasi pada pelayanan publik yang prima dan responsif. "Melihat praktik kepolisian saat ini," ujar Irjen Dadang, "SDM kita perlu ditata kembali agar aksi-aksi kepolisian berorientasi pada layanan terbaik bagi masyarakat." Perbaikan menyeluruh, mulai dari proses rekrutmen, pelatihan, hingga pengawasan internal, dianggap perlu untuk menciptakan budaya kerja yang profesional dan berintegritas di kalangan anggota Polri.

Selain itu, Irjen Dadang juga menyoroti pentingnya peningkatan profesionalisme dan pemanfaatan teknologi modern dalam operasional kepolisian. Implementasi teknologi diharapkan mampu mempercepat proses penanganan laporan masyarakat, meningkatkan transparansi, dan memberikan akses yang lebih mudah bagi publik untuk berinteraksi dengan aparat penegak hukum. Peningkatan kemampuan teknologi, sebagaimana ditekankan Irjen Dadang, akan menjadi kunci utama dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas layanan kepolisian di era digital saat ini.

Data dari survei Posko Presisi menjadi sorotan penting dalam seminar tersebut. Survei tersebut menunjukkan fakta mengejutkan, yakni 47,4 persen masyarakat enggan melapor ke Polri. Angka ini mencerminkan adanya gap kepercayaan yang signifikan antara kepolisian dan masyarakat. Irjen Dadang mengakui bahwa temuan ini menjadi masukan yang sangat berharga bagi institusi Polri untuk melakukan evaluasi dan perbaikan secara menyeluruh. Ungkapan-ungkapan sarkastis dari masyarakat seperti "percuma lapor polisi" dan "no viral no justice", menurut Irjen Dadang, menjadi indikator kuat terhadap rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja kepolisian.

Irjen Dadang menegaskan bahwa Polri harus merespons kritik dan masukan masyarakat dengan serius. Ia menekankan bahwa pelayanan kepolisian haruslah cepat, berkualitas, dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Kepercayaan publik, menurutnya, bukan hanya sekadar slogan, melainkan merupakan modal utama dalam menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat yang efektif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, reformasi internal di tubuh Polri mutlak diperlukan untuk menciptakan institusi yang profesional, modern, dan terpercaya di mata masyarakat.

Langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah tersebut, menurut Irjen Dadang, harus segera dijalankan. Hal ini meliputi program pelatihan khusus yang fokus pada peningkatan etika, profesionalisme, dan integritas anggota Polri; pengembangan sistem pengawasan internal yang lebih ketat dan transparan; serta peningkatan aksesibilitas teknologi informasi bagi masyarakat untuk memudahkan pelaporan dan akses informasi terkait pelayanan kepolisian. Dengan komitmen yang kuat dan strategi yang tepat, Polri diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan publik dan menjadi institusi yang benar-benar melayani dan melindungi masyarakat.