Ketimpangan Biaya Perpisahan Sekolah di Jakarta Pusat: Satu Sekolah Rp 1,35 Juta, Lainnya Dilarang
Ketimpangan Biaya Perpisahan Sekolah di Jakarta Pusat: Satu Sekolah Rp 1,35 Juta, Lainnya Dilarang
Seorang wali murid di Jakarta Pusat, yang identitasnya dirahasiakan dan disebut sebagai Ayu, mengungkapkan keheranannya atas perbedaan kebijakan penyelenggaraan dan pembiayaan acara perpisahan sekolah di dua SMA Negeri yang berbeda di wilayah tersebut. Anak kembarnya, yang bersekolah di dua SMA Negeri yang berbeda, mengalami pengalaman yang sangat kontras. Sekolah kakak kembarnya mengadakan acara perpisahan di luar sekolah dengan biaya yang cukup fantastis, sementara sekolah adiknya sama sekali dilarang mengadakan acara serupa di luar lingkungan sekolah.
Ketidakkonsistenan ini menjadi sorotan utama. Ayu mengungkapkan bahwa kakak kembarnya diwajibkan membayar sebesar Rp 1,35 juta per siswa untuk biaya perpisahan yang digelar di sebuah hotel. Informasi ini Ayu terima melalui pesan WhatsApp berupa foto dengan judul “Kebutuhan Kegiatan, Support Orang Tua”, yang kemudian diikuti dengan rincian Rencana Anggaran Biaya (RAB). Rincian RAB yang Ayu peroleh cukup mengejutkan, total biaya mencapai Rp 183 juta. Rincian biaya tersebut mencakup:
- Biaya kenangan untuk sekolah: Rp 6 juta
- Biaya kenangan untuk guru: Rp 10,5 juta
- Biaya transportasi guru: Rp 9 juta
Sisanya dialokasikan untuk biaya-biaya lain yang terkait dengan penyelenggaraan acara perpisahan di hotel tersebut. Sementara itu, sekolah adiknya justru melarang keras penyelenggaraan acara perpisahan di luar lingkungan sekolah atas dasar larangan dari dinas pendidikan. Perbedaan perlakuan ini menimbulkan pertanyaan besar terkait transparansi dan keadilan dalam penerapan peraturan sekolah.
Kejanggalan lainnya adalah penyelenggaraan acara perpisahan di sekolah kakak kembarnya yang tetap berlangsung di luar lingkungan sekolah, meskipun adanya larangan dari dinas pendidikan. Ayu telah berusaha meminta klarifikasi kepada pihak sekolah, termasuk ketua komite, mengenai surat izin dari dinas pendidikan terkait penyelenggaraan acara tersebut, namun hingga saat ini belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. Ia menduga kuat adanya potensi pungutan liar (pungli) karena ketidakjelasan prosedur dan absennya surat edaran resmi dari sekolah maupun dinas pendidikan.
Pengalaman Ayu ini mengungkap sebuah permasalahan yang lebih besar: ketidakadilan dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan keuangan sekolah di Jakarta Pusat. Pertanyaan tentang bagaimana sekolah yang satu dapat dengan mudah menyelenggarakan acara perpisahan yang mahal di luar sekolah sementara yang lain dilarang sama sekali, dan bagaimana RAB senilai Rp 183 juta dapat dibenarkan, menjadi pertanyaan penting yang harus dijawab oleh pihak berwenang. Kejadian ini juga mempertanyakan komitmen sekolah dan dinas pendidikan dalam menjaga integritas dan transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan.
Kasus ini mendesak adanya investigasi menyeluruh dari dinas pendidikan untuk memastikan kepatuhan sekolah terhadap peraturan yang berlaku dan menjamin transparansi penggunaan dana sekolah. Tidak hanya itu, perlu juga dilakukan evaluasi terhadap mekanisme pengawasan dan penegakan aturan terkait pungutan di sekolah-sekolah di Jakarta Pusat agar kejadian serupa tidak terulang kembali dan memastikan keadilan bagi semua wali murid.