Uji Nyata Pemerintahan Prabowo: Mengatasi Bencana Banjir Jabodetabek

Uji Nyata Pemerintahan Prabowo: Mengatasi Bencana Banjir Jabodetabek

Banjir yang melanda Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) pada awal Maret 2025 lalu, menjadi ujian nyata bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang masih berusia kurang dari 100 hari. Kejadian ini, yang nyaris menjadi siklus tahunan dengan intensitas yang meningkat setiap lima tahun, menunjukkan urgensi penanganan banjir secara terintegrasi dan holistik. Lebih dari sekadar kerugian materiil, banjir ini menimbulkan dampak psikologis yang mendalam bagi masyarakat, khususnya mengingat peristiwa ini terjadi saat bulan Ramadan. Pemerintah harus mampu memberikan respons cepat dan efektif, sekaligus merancang strategi jangka panjang untuk mencegah tragedi serupa berulang.

Pemerintah pusat, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, memiliki kewenangan dan sumber daya yang memadai untuk memimpin upaya ini. Otoritas tersebut memungkinkan intervensi komprehensif, mulai dari hulu hingga hilir, meliputi kebijakan regulasi, alokasi anggaran, dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang berpotensi memicu banjir. Koordinasi yang efektif antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci keberhasilan. Hal ini sejalan dengan komitmen awal pemerintahan Prabowo untuk meningkatkan sinkronisasi kebijakan antar tingkat pemerintahan, seperti yang terlihat pada kegiatan retret yang diikuti oleh seluruh kepala daerah setelah pelantikan. Namun, kewenangan pusat ini tidak boleh mengabaikan otonomi daerah, melainkan harus dijalankan dengan semangat kolaboratif dan saling mendukung.

Beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan dalam strategi penanganan banjir Jabodetabek adalah:

  • Audit Alih Fungsi Lahan: Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) harus melakukan audit menyeluruh terhadap alih fungsi lahan yang mengakibatkan peningkatan risiko banjir. Penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang menjadi sangat krusial.
  • Audit Perizinan Bangunan: Pengawasan ketat terhadap perizinan pembangunan perumahan dan gedung yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di semua tingkatan pemerintahan (nasional, provinsi, kabupaten/kota) sangat dibutuhkan. Sanksi tegas harus diterapkan terhadap pelanggaran yang ditemukan.
  • Pemetaan Hulu-Hilir: Penanganan banjir membutuhkan pendekatan komprehensif yang memetakan masalah dari sumbernya hingga dampaknya di daerah hilir. Hal ini memerlukan kolaborasi antar berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, pakar dari perguruan tinggi, dan masyarakat.
  • Pemanfaatan UU DKJ: Meskipun Undang-Undang Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKJ) belum efektif sepenuhnya, spirit dan nomenklatur hukum di dalamnya, khususnya yang terkait dengan aglomerasi Jabodetabek, dapat digunakan sebagai landasan dalam perencanaan dan implementasi strategi penanganan banjir.
  • Kolaborasi dan Partisipasi Masyarakat: Kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan dan membuang sampah pada tempatnya merupakan faktor penting dalam upaya pencegahan banjir. Eduikasi dan kampanye publik perlu digencarkan untuk mendorong perubahan perilaku.

Tantangan dalam mengatasi banjir Jabodetabek bukanlah hal yang mudah. Namun, dengan pendekatan yang terintegrasi, kolaboratif, dan berbasis data, serta dengan political will yang kuat dari pemerintah pusat dan daerah, serta dukungan dari masyarakat, ancaman banjir dapat dikurangi dan diatasi secara berkelanjutan. Keberhasilan dalam menangani bencana ini akan menjadi bukti nyata kepemimpinan dan komitmen pemerintahan Prabowo dalam melindungi rakyatnya.

Penulis: Muhammad Khozin, Anggota Komisi II DPR Fraksi PKB