Deforestasi dan Bencana Banjir: Ancaman Berkelanjutan bagi Indonesia
Deforestasi dan Bencana Banjir: Ancaman Berkelanjutan bagi Indonesia
Indonesia, dalam dekade terakhir, menghadapi peningkatan frekuensi dan intensitas bencana banjir yang meluas. Fenomena ini tidak lagi terbatas pada daerah-daerah yang secara historis rawan banjir seperti Medan, Jakarta, dan Semarang, tetapi kini juga melanda wilayah-wilayah yang sebelumnya relatif aman. Studi kasus di berbagai lokasi menunjukkan korelasi kuat antara deforestasi dan peningkatan risiko banjir. Bencana banjir di Mandailing Natal (2018), Sentani (2019), Manado (2023), dan Jabodetabekjur (2025) menunjukan pola kerusakan hutan di daerah aliran sungai (DAS) sebagai faktor pemicu utama. Kerusakan hutan di DAS Aek Sibontar, Cagar Alam Pegunungan Cycloop, Danau Tondano, dan DAS Ciliwung telah menyebabkan peningkatan erosi, rusaknya sistem hidrologi, dan berkurangnya kapasitas resapan air, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap banjir.
Perubahan lanskap yang signifikan akibat deforestasi terlihat jelas. Sebagai contoh, luas hutan di DAS Ciliwung menyusut dari 15.000 hektar pada tahun 2010 menjadi 8.000 hektar pada tahun 2022. Alih fungsi hutan untuk pertanian, perumahan, pariwisata, dan aktivitas ekonomi lainnya telah menyebabkan penyempitan DAS, berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH), dan rusaknya tata ruang wilayah. Akibatnya, kapasitas sungai untuk menampung air hujan berkurang drastis, menyebabkan meluapnya air dan banjir besar di wilayah hilir. Praktik eksploitasi hutan yang semata-mata mengejar keuntungan ekonomi tanpa mempertimbangkan dampak ekologi telah menciptakan sebuah siklus bencana yang berulang.
Dampak Sosial Ekonomi Bencana Banjir
Bencana banjir menimbulkan kerugian ekonomi yang besar dan dampak sosial yang signifikan. Korban bencana umumnya berasal dari kalangan menengah ke bawah, khususnya perempuan dan anak-anak. Kerugian materiil berupa kerusakan rumah dan harta benda, disertai dampak psikis berupa stres, trauma, dan bahkan kehilangan nyawa, menjadi beban berat bagi mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang holistik dan menyeluruh dalam menangani masalah ini, yang tidak hanya berfokus pada aspek teknis penanganan bencana, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial dan psikologis. Pemulihan pasca bencana tidak hanya sebatas perbaikan infrastruktur, tetapi juga mencakup pemulihan mental dan sosial ekonomi masyarakat yang terdampak.
Krisis Lingkungan dan Kebijakan Terpadu
Deforestasi, reklamasi pantai, dan pertambangan yang tidak terkendali merupakan manifestasi dari krisis lingkungan yang lebih luas. Bencana alam yang terjadi di Indonesia, tidak hanya banjir, tetapi juga longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan, adalah dampak akumulasi dari kerusakan lingkungan tersebut. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan kebijakan lingkungan terpadu yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, LSM, dan masyarakat. Kerangka kebijakan yang komprehensif harus mencakup strategi jangka pendek, menengah, dan panjang.
- Jangka Pendek: Fokus pada kesiapsiagaan bencana, termasuk evakuasi, bantuan logistik, dan pembersihan pascabanjir. Penguatan kapasitas lembaga penanggulangan bencana daerah, seperti BPBD, menjadi prioritas utama.
- Jangka Menengah: Pemetaan wilayah rawan bencana, pembangunan infrastruktur pengendalian banjir (misalnya tanggul), dan peningkatan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya konservasi lingkungan.
- Jangka Panjang: Reboisasi dan penghijauan di daerah aliran sungai yang rusak, penerapan hukum yang tegas terhadap pelanggaran lingkungan, serta perubahan paradigma pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Ini termasuk membongkar bangunan ilegal di kawasan hutan lindung dan DAS untuk mengembalikan fungsi ekologis lahan.
Penanganan bencana banjir membutuhkan pendekatan komprehensif yang mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi. Perubahan paradigma dari antroposentris ke ekoposentris dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi kunci keberhasilan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap bencana di masa mendatang. Hanya dengan tindakan yang terpadu dan berkelanjutan, Indonesia dapat mengurangi risiko bencana banjir dan membangun ketahanan lingkungan yang lebih kuat.