Mantan Dirjen Perkeretaapian Dituntut Atas Korupsi Proyek Jalur KA Besitang-Langsa: Kerugian Negara Mencapai Triliunan Rupiah
Mantan Dirjen Perkeretaapian Dituntut Atas Korupsi Proyek Jalur KA Besitang-Langsa: Kerugian Negara Mencapai Triliunan Rupiah
Sidang kasus korupsi proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa memasuki babak baru dengan pembacaan surat dakwaan terhadap Prasetyo Boeditjahjono, mantan Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Prasetyo telah menerima suap sebesar Rp 2,6 miliar terkait proyek yang menelan kerugian negara hingga Rp 1,157 triliun tersebut. Sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin, 17 Maret 2025, mengungkap detail penyimpangan yang terjadi sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan proyek yang menghubungkan Sumatera Utara dan Aceh ini.
Jaksa dalam surat dakwaannya merinci bahwa kerugian negara mencapai angka fantastis, yakni Rp 1.157.087.853.322. Besarnya kerugian ini menjadi sorotan utama dalam kasus yang melibatkan sejumlah pihak, termasuk Prasetyo Boeditjahjono. Dakwaan tersebut didasarkan pada Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Proyek Pembangunan Jalur Kereta Api Besitang-Langsa pada Balai Teknik Perkeretaapian Medan Tahun 2015 sampai dengan 2023. Selain Prasetyo, sejumlah individu dan korporasi lainnya turut menjadi sorotan atas dugaan keterlibatannya dalam praktik korupsi ini. Ketidakberesan dalam pengelolaan proyek ini mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi keuangan negara, dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai pengawasan dan tata kelola proyek infrastruktur di Indonesia.
Menurut Jaksa, Prasetyo tidak sendirian dalam melancarkan aksi korupsinya. Ia diduga berkolaborasi dengan sejumlah pihak, di antaranya Nur Setiawan Sidik, mantan Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara. Nur Setiawan Sidik telah lebih dulu menjalani persidangan dan dijatuhi hukuman. Jaksa menduga penyimpangan dilakukan secara sistematis, mulai dari proses perencanaan hingga pelaksanaan proyek konstruksi. Modus korupsinya diduga melibatkan berbagai tahapan dan pihak sehingga menyebabkan kerugian negara yang sangat besar. Praktik korupsi tersebut, menurut Jaksa, telah memperkaya Prasetyo sebesar Rp 2,6 miliar. Selain Prasetyo, sejumlah pihak lain juga diduga turut menikmati hasil korupsi ini.
Berikut rincian penerimaan uang oleh beberapa pihak yang telah lebih dulu divonis bersalah:
- Nur Setiawan Sidik: Rp 1,5 miliar
- Akhmad Afif: Rp 9,5 miliar
- Amanna Gappa: Rp 3,2 miliar
- Rieki Meidi: Rp 785,1 juta
- Halim Hartono: Rp 28,5 miliar
- Arista Gunawan: Rp 12,3 miliar
- Freddy: Rp 64,2 miliar
Total kerugian yang diterima oleh individu dan korporasi mencapai lebih dari Rp 1,03 triliun. Prasetyo didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kasus ini menyoroti lemahnya sistem pengawasan dan transparansi dalam pengelolaan proyek infrastruktur berskala besar, dan menjadi pelajaran berharga dalam upaya pencegahan korupsi di masa mendatang. Proses peradilan yang sedang berlangsung diharapkan dapat memberikan keadilan dan efek jera bagi para pelaku korupsi serta mengembalikan kerugian negara.
Berikut vonis para terdakwa yang telah lebih dulu menjalani persidangan:
- Nur Setiawan Sidik: 4 tahun penjara, denda Rp 250 juta, uang pengganti Rp 1,5 miliar.
- Amanna Gappa: 3,5 tahun penjara, denda Rp 250 juta, uang pengganti Rp 3,2 miliar.
- Freddy Gondowardojo: 4,5 tahun penjara, denda Rp 250 juta, uang pengganti Rp 1,5 miliar.
- Arista Gunawan: 4 tahun penjara, denda Rp 250 juta.
- Akhmad Afif Setiawan: 6 tahun penjara, denda Rp 750 juta subsider 4 bulan, uang pengganti Rp 9,5 miliar subsider 2 tahun kurungan.
- Rieki Meidi Yuwana: 5 tahun penjara, denda Rp 750 juta subsider 4 bulan, uang pengganti Rp 785 juta.
- Halim Hartono: 7 tahun penjara, denda Rp 750 juta subsider 4 bulan, uang pengganti Rp 28,5 miliar.