Praktik Rentenir di Tangerang: Utang Rp500.000 Membengkak Menjadi Rp40 Juta, Sertifikat Tanah Disita

Praktik Rentenir di Tangerang: Utang Rp500.000 Membengkak Menjadi Rp40 Juta, Sertifikat Tanah Disita

Kasus eksploitasi rentenir kembali mencuat di Kabupaten Tangerang. Seorang lansia, berinisial A (80 tahun), menjadi korban praktik peminjaman uang ilegal yang berujung pada penyitaan sertifikat tanah miliknya. Awal mula permasalahan ini bermula dari pinjaman sebesar Rp500.000 yang dilakukan oleh S, anak dari A, pada tahun 2016. Pinjaman tersebut bertujuan untuk membiayai pengobatan sang ibu. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih mendapatkan bantuan, keluarga ini terperangkap dalam jeratan bunga tinggi yang diterapkan oleh rentenir berinisial CE.

Sistem bunga yang diterapkan CE tergolong sangat memberatkan. Setiap pinjaman Rp500.000 dikenakan bunga Rp100.000 per minggu. Kondisi ini semakin memperburuk situasi ketika pembayaran mengalami keterlambatan. Bunga yang menumpuk di akumulasikan ke pokok pinjaman, menyebabkan jumlah yang harus dibayarkan terus membengkak secara eksponensial. Akibatnya, utang S yang awalnya hanya Rp500.000 membengkak hingga mencapai angka yang fantastis, yaitu Rp40 juta. Ketidakmampuan S untuk melunasi utang tersebut berujung pada penyitaan sertifikat tanah milik ibunya sebagai jaminan. Situasi ini menyoroti betapa rentannya masyarakat, khususnya lansia, terhadap praktik rentenir yang tidak terkontrol.

Anggota DPRD Kabupaten Tangerang, Chris Indra Wijaya, turut turun tangan dalam kasus ini. Pada Senin, 17 Maret 2025, ia memanggil CE dan dua rentenir lain ke Kantor Desa Selembaran Jati untuk dimintai keterangan. Dalam pertemuan tersebut, CE mengakui telah mengambil sertifikat tanah milik A. Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa sertifikat tersebut awalnya berada di tangan seseorang berinisial Y alias MR sebelum berpindah tangan kepadanya. Kehadiran perwakilan yayasan peminjaman resmi dalam pertemuan tersebut bertujuan untuk memberikan gambaran perbedaan antara skema peminjaman yang legal dan ilegal kepada masyarakat.

Hingga saat ini, sertifikat tanah milik A masih berada di tangan rentenir. Upaya Kompas.com untuk meminta klarifikasi langsung kepada CE melalui pesan WhatsApp dan telepon belum membuahkan hasil. Setelah sempat merespon pertanyaan awal, CE tidak lagi memberikan tanggapan lebih lanjut. Kasus ini menjadi bukti nyata bagaimana praktik rentenir yang tidak terkendali dapat merugikan masyarakat dan menyebabkan kerugian finansial yang signifikan, bahkan berdampak pada hilangnya aset berharga seperti tanah dan rumah.

Kejadian ini juga menyoroti pentingnya edukasi keuangan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik peminjaman uang, khususnya bagi kelompok rentan seperti lansia. Perlu adanya mekanisme yang lebih efektif untuk melindungi masyarakat dari praktik eksploitatif seperti ini, serta memberikan akses yang lebih mudah kepada layanan keuangan formal yang bertanggung jawab dan transparan.

Catatan: Nama-nama korban telah disamarkan untuk melindungi privasi mereka.