Lembaga Pemasyarakatan Pulau: Sejarah Kelam dan Rencana Masa Depan

Lembaga Pemasyarakatan Pulau: Sejarah Kelam dan Rencana Masa Depan

Gagasan Presiden Prabowo Subianto untuk membangun penjara bagi koruptor di pulau terpencil baru-baru ini kembali mengemuka, memicu perdebatan publik. Rencana tersebut, yang bertujuan untuk mencegah pelarian narapidana dan menjamin keamanan, mengingatkan kita pada sejarah panjang penggunaan pulau-pulau terpencil sebagai lokasi penjara di berbagai penjuru dunia. Sejarah ini dipenuhi kisah-kisah kelam, yang menandai kondisi yang jauh dari standar perlakuan manusiawi bagi para tahanan. Meskipun gagasan tersebut bertujuan untuk peningkatan keamanan, pertanyaan mengenai aspek hak asasi manusia dan perlakuan manusiawi bagi penghuni penjara tetap menjadi pertimbangan utama yang krusial.

Berikut beberapa contoh lembaga pemasyarakatan di pulau yang menyimpan catatan sejarah kelam:

  • Devil's Island, Prancis: Pulau ini, beroperasi dari tahun 1852 hingga 1953, awalnya digunakan untuk mengisolasi penderita kusta, kemudian beralih fungsi menjadi tempat pembuangan tahanan politik. Dari sekitar 60.000 tahanan, hanya 2.000 yang selamat. Kondisi penjara yang sangat tidak manusiawi, dengan sel-sel sempit dan isolasi berkepanjangan, mencerminkan kekejaman sistem peradilan pada masa itu. Lokasi geografisnya yang terpencil, dikelilingi perairan yang berbahaya, membuat pelarian nyaris mustahil.

  • Alcatraz, Amerika Serikat: Berfungsi sebagai penjara federal dari tahun 1933 hingga 1963, Alcatraz terkenal dengan keamanannya yang ketat dan reputasinya sebagai penjara yang tak seorang pun dapat melarikan diri. Digunakan untuk menampung para penjahat paling berbahaya, Alcatraz menampung 1.576 narapidana sepanjang sejarahnya. Biaya operasional yang tinggi menjadi alasan penutupan penjara ini.

  • Galapagos, Ekuador: Kepulauan Galapagos, yang terkenal dengan keanekaragaman hayatinya, juga menyimpan sejarah kelam sebagai tempat penahanan tahanan politik dan penjahat berbahaya. Kondisi yang sangat buruk dan laporan kematian tahanan selama mengerjakan kerja paksa, seperti pembangunan Tembok Air Mata, menjadi gambaran betapa tidak manusiawinya sistem penjara di lokasi ini.

  • Pulau Coiba, Panama: Terdaftar sebagai situs warisan dunia UNESCO, Pulau Coiba menyimpan kisah pilu sebagai penjara bagi para penjahat paling berbahaya di Panama sejak tahun 1919. Para tahanan ditempatkan di kamp-kamp darurat, bukan di dalam penjara bertembok, dengan ancaman hiu dan buaya di perairan sekitarnya menjadi penghalang utama bagi upaya pelarian. Pulau ini juga menjadi tempat pengasingan para penentang rezim otoriter, yang dikenal sebagai “Orang-orang yang hilang”. Penjara Coiba ditutup pada tahun 2004 setelah menampung sekitar 3.000 tahanan.

  • Robben Island, Afrika Selatan: Terkenal sebagai tempat pemenjaraan Nelson Mandela, Robben Island awalnya digunakan untuk mengisolasi penderita kusta dan pasien rumah sakit jiwa. Kemudian, pulau ini menjadi penjara politik bagi para penentang rezim Apartheid dari tahun 1960 hingga 1991. Saat ini, Robben Island telah menjadi destinasi wisata.

Dari berbagai contoh tersebut, terlihat jelas bahwa penggunaan pulau-pulau terpencil sebagai lokasi penjara menyimpan catatan sejarah yang kelam, diwarnai dengan pelanggaran hak asasi manusia dan praktik-praktik tidak manusiawi. Rencana pembangunan penjara di pulau terpencil, oleh karena itu, harus mempertimbangkan aspek-aspek ini secara serius, memastikan bahwa langkah tersebut tidak mengulangi kesalahan masa lalu dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan hukum.