Bekas Perumahan Elite Karyawan Kereta Api di Medan: Jejak Sejarah yang Terabaikan

Bekas Perumahan Elite Karyawan Kereta Api di Medan: Jejak Sejarah yang Terabaikan

Di jantung Kota Medan, tersembunyi sebuah kawasan yang menyimpan kisah bisu tentang masa lalu. Jalan Bundaran, Kelurahan Pulo Brayan Bengkel, Kecamatan Medan Timur, dulunya merupakan perumahan elite bagi karyawan bengkel kereta api peninggalan zaman kolonial Belanda. Namun, kini kawasan tersebut hanya menyisakan suasana mencekam dan bangunan-bangunan yang memprihatinkan. Rumah-rumah bergaya kolonial Belanda yang dulunya megah, kini tampak kusam, tak terawat, bahkan beberapa diantaranya telah runtuh, menyisakan puing-puing yang tertelan semak belukar.

Jalanan yang tak beraspal dan becek, semakin memperburuk kondisi kawasan ini. Semak-semak yang tumbuh liar menutupi jalan, hingga kendaraan tak mampu melintas. Berkeliling kawasan ini mengharuskan kita memasuki Jalan Bundaran melalui Jalan Pertahanan atau Jalan Bengkel/Jalan Lampu, menyusuri jalan melingkar yang menyimpan banyak cerita. Selain rumah-rumah besar berlantai dua, terdapat pula deretan rumah-rumah kecil yang membentuk sebuah komplek, seakan menggambarkan kehidupan sosial masyarakat di masa itu. Satu-satunya bangunan yang masih terawat di kawasan tersebut adalah Mes Bundar milik PT KAI, yang terletak di antara Jalan Bundar dan Jalan Bengkel.

Menariknya, sebuah menara air berukuran besar masih berdiri kokoh. Menara air ini konon digunakan sebagai penampungan air bagi para penghuni perumahan dan kini telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Wali Kota Medan, Bobby Nasution. Kesaksian Yusuf (63), warga yang telah tinggal selama 40 tahun di dekat kawasan ini, memperkuat gambaran kerusakan yang terjadi. Ia menceritakan bagaimana rumah-rumah tersebut lapuk dan akhirnya ambruk, satu persatu. Jumlah pasti rumah-rumah peninggalan kolonial Belanda di kawasan ini pun telah sulit diidentifikasi.

Sejarawan Universitas Sumatera Utara (USU), M Azis Rizky Lubis, memberikan konteks sejarah kawasan ini. Beliau menjelaskan bahwa perumahan tersebut memang dibangun untuk karyawan bengkel kereta api, namun tidak bersamaan dengan berdirinya Deli Spoorweg Matschappij pada tahun 1886. Pembangunan perumahan baru dimulai pada tahun 1919, seiring dengan pembangunan werkplaats atau bengkel kereta api di lokasi tersebut. Bengkel kereta api ini, yang kini dikenal sebagai Balai Yasa KAI Pulubrayan, masih beroperasi hingga saat ini. Perumahan tersebut, selain untuk karyawan, juga difungsikan untuk menampung para siswa sekolah perkeretaapian yang berkunjung ke bengkel.

Lebih jauh, M Azis menjelaskan bahwa kawasan Pulo Brayan, berdekatan dengan perkebunan Helvetia, merupakan kawasan elit di masanya, dengan beberapa komplek perumahan lainnya yang dihuni oleh warga Eropa. Saat pendudukan Jepang, kawasan ini bahkan digunakan sebagai kamp pengungsian bagi warga Eropa, karena aksesnya yang dekat dengan pelabuhan Belawan. Fakta menarik lainnya, di awal pembangunan jalur kereta api Medan-Labuhan pada tahun 1886, belum terdapat stasiun di Pulo Brayan, hanya berupa halte sederhana.

Kawasan ini menjadi saksi bisu perkembangan perkeretaapian di Medan dan sekaligus potret kelalaian dalam pelestarian cagar budaya. Bangunan-bangunan bersejarah yang menyimpan kisah masa lalu, kini terancam hilang ditelan waktu dan ketidakpedulian. Harapannya, pemerintah dan masyarakat dapat bersinergi untuk menjaga dan melestarikan sisa-sisa sejarah yang berharga ini, sebelum semuanya benar-benar lenyap.