Desakan Hukuman Mati dan Evaluasi Internal TNI Atas Kasus Pembunuhan Sales Mobil di Aceh

Desakan Hukuman Mati dan Evaluasi Internal TNI Atas Kasus Pembunuhan Sales Mobil di Aceh

Tragedi pembunuhan terhadap Hasniafi (37), seorang sales mobil yang akrab disapa Imam, di Aceh Utara telah mengguncang publik dan memicu gelombang kemarahan. Pelaku, seorang oknum Kelasi Dua (KLD) TNI Angkatan Laut Lanal Lhokseumawe berinisial DI, diduga telah membunuh Imam pada Jumat, 14 Maret 2025. Penemuan jasad Imam di KM 30 Gunung Salak, Aceh Utara, dan proses evakuasi yang melibatkan tim medis, personel TNI AL, dan Polres Lhokseumawe, semakin mempertegas kesedihan mendalam yang menyelimuti keluarga korban dan masyarakat Aceh.

Kejadian ini telah memicu kecaman keras dari berbagai kalangan, termasuk anggota DPR Aceh, Tantawi. Tantawi, dalam pernyataan resminya pada Selasa, 18 Maret 2025, mendesak Danlanal dan pimpinan tertinggi TNI AL di Aceh untuk segera mengunjungi keluarga korban guna memberikan dukungan psikososial. Ia menekankan pentingnya pemulihan mental keluarga yang ditinggalkan, khususnya istri dan ketiga anak Imam yang masih berusia 12 tahun, 4 tahun, dan 6 bulan. Lebih jauh, Tantawi juga menyerukan agar pengadilan militer menjatuhkan hukuman maksimal, bahkan hukuman mati, kepada pelaku atas tindakan keji yang telah dilakukannya. Hal senada disampaikan oleh Ketua PCNU Kota Lhokseumawe, Tgk Rizwan Haji Ali, yang juga meminta hukuman mati untuk pelaku, menyamakan kasus ini dengan kasus pembunuhan serupa yang terjadi sebelumnya, menekankan pentingnya hukuman tegas agar kejadian serupa tidak terulang lagi.

Di luar tuntutan hukuman, desakan untuk evaluasi internal TNI juga mengemuka. Tantawi secara tegas meminta Kepala Staf TNI AL untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penggunaan senjata api oleh personel TNI. Ia bahkan mendesak dilakukannya tes urine secara rutin terhadap seluruh personel sebagai langkah pencegahan potensi penyalahgunaan narkoba yang mungkin menjadi faktor penyebab terjadinya kasus ini. Kekhawatiran akan penyalahgunaan senjata api oleh personel TNI, yang dilatarbelakangi oleh faktor-faktor seperti pengaruh narkoba, menjadi poin penting yang diangkat, mengingat senjata api merupakan alat yang sangat berbahaya dan dapat berakibat fatal jika jatuh ke tangan yang salah. Kasus ini, menurut Tantawi, menjadi alarm bagi TNI untuk melakukan perbaikan sistem dan pengawasan internal untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.

Imam, sebelum ditemukan meninggal dunia, dilaporkan hilang bersama mobil yang hendak dijualnya kepada pelaku. Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Polres Lhokseumawe yang akhirnya menemukan jasad korban dan mengungkap keterlibatan oknum TNI tersebut. Jenazah Imam telah dimakamkan di Desa Uteun Geulinggang, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Kasus ini menyisakan duka mendalam bagi keluarga dan menjadi sorotan tajam bagi penegakan hukum dan disiplin di tubuh TNI.

Tuntutan yang diajukan meliputi:

  • Kunjungan Danlanal dan pimpinan TNI AL tertinggi ke keluarga korban.
  • Hukuman maksimal, bahkan hukuman mati, bagi pelaku.
  • Evaluasi menyeluruh penggunaan senjata api oleh personel TNI.
  • Pemeriksaan urine rutin bagi personel TNI.

Kejadian ini menjadi pengingat pentingnya pengawasan ketat terhadap penggunaan senjata api dan perlunya langkah preventif untuk mencegah tindakan kriminal yang melibatkan personel aparat keamanan. Semoga kasus ini dapat segera diselesaikan secara tuntas dan menjadi pembelajaran berharga bagi semua pihak.