Mantan Kapolres Ngada dan Akar Psikologis Perilaku Pedofilia: Sebuah Kajian Kasus

Mantan Kapolres Ngada dan Akar Psikologis Perilaku Pedofilia: Sebuah Kajian Kasus

Kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, telah mengguncang publik dan kembali menyoroti permasalahan pedofilia di Indonesia. Perbuatan tercela tersebut, yang melibatkan pencabulan dan penyebaran video asusila di situs porno internasional, bukan sekadar tindakan kriminal biasa, melainkan gambaran kompleksitas psikologis pelaku. Kejadian yang berlangsung di sebuah hotel di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 11 Juni 2024, mengingatkan kita pada urgensi pemahaman yang lebih mendalam tentang akar permasalahan pedofilia dan upaya pencegahan yang efektif.

Psikolog anak, Gloria Siagian, M.Psi., memberikan perspektif penting mengenai faktor-faktor yang berkontribusi pada perilaku pedofilia. Ia menekankan peran luka psikologis yang belum terselesaikan sebagai faktor utama. Trauma masa lalu yang tak tertangani, menurut Gloria, dapat memicu perilaku menyimpang tersebut. Alih-alih memperoleh penyembuhan, pelaku justru melampiaskan trauma tersebut pada korban yang rentan, yaitu anak-anak. Hal ini menegaskan perlunya intervensi psikologis yang komprehensif, baik untuk korban maupun pelaku.

Lebih lanjut, Gloria menjelaskan potensi faktor lain. Pengalaman negatif dalam interaksi sosial semasa kanak-kanak, seperti penolakan atau perundungan dari teman sebaya, dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan rendah diri yang mendalam. Kondisi ini dapat mendorong pencarian validasi dari kelompok usia yang lebih muda, di mana pelaku merasa diterima dan dihargai. Anak-anak, dengan ketergantungan dan kepercayaan mereka yang tinggi, menjadi target yang mudah dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan psikologis pelaku yang terluka.

Selain itu, kemungkinan pelaku pernah menjadi korban pelecehan seksual sendiri juga menjadi pertimbangan penting. Trauma yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut, jika tidak diatasi dengan benar, dapat berpotensi terulang dalam bentuk perilaku yang serupa. Siklus kekerasan seksual ini menunjukkan betapa pentingnya upaya pencegahan dan penyembuhan trauma, agar rantai kekerasan tidak terus berlanjut. Kasus ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal kesehatan mental dan perlu ditangani secara terpadu.

Kesimpulannya, kasus mantan Kapolres Ngada memberikan gambaran nyata tentang kompleksitas perilaku pedofilia. Bukan hanya penindakan hukum yang dibutuhkan, tetapi juga upaya pencegahan yang proaktif melalui deteksi dini trauma psikologis, program penyembuhan yang komprehensif, dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang perlindungan anak. Perlu digarisbawahi bahwa pedofilia bukanlah masalah individu semata, melainkan masalah sosial yang membutuhkan solusi yang holistik dan terintegrasi.

Berikut beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:

  • Peran trauma masa lalu yang belum terselesaikan.
  • Pengalaman negatif dalam interaksi sosial semasa kanak-kanak.
  • Pencarian validasi dari kelompok usia yang lebih muda.
  • Pengalaman sebagai korban pelecehan seksual di masa lalu.
  • Pentingnya deteksi dini dan penanganan trauma psikologis.
  • Perlunya solusi holistik dan terintegrasi untuk mengatasi masalah pedofilia.