Gangguan Saraf: Memahami Distonia dan Sindrom Tourette, serta Terapi Deep Brain Stimulation
Gangguan Saraf: Memahami Distonia dan Sindrom Tourette, serta Terapi Deep Brain Stimulation
Gangguan pada sistem saraf, baik pusat maupun tepi, dapat memicu manifestasi klinis berupa gerakan-gerakan abnormal. Dua kondisi yang menonjol dalam hal ini adalah distonia dan sindrom Tourette, keduanya ditandai oleh aktivitas saraf yang tidak normal dan berdampak signifikan pada kehidupan penderitanya. Distonia, suatu gangguan neurologis, dicirikan oleh kekakuan otot yang berkepanjangan dan tak terkendali, seringkali menyebabkan gerakan berulang dan postur tubuh yang abnormal. Gejala ini dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Dr. Rocksy Fransisca V Situmeang, Sp.N, menjelaskan bahwa gejala distonia bisa beragam, mulai dari kekakuan leher (yang sering disebut 'tengeng' oleh masyarakat awam), kedutan pada otot wajah, suara-suara aneh yang tak terkontrol akibat gangguan otot vokal, hingga gerakan-gerakan tangan dan kaki yang tidak biasa.
Diagnosis distonia membutuhkan evaluasi klinis yang menyeluruh. Pemeriksaan penunjang seperti MRI atau tes genetik mungkin diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab yang mendasari. Wawancara medis yang detail, mencakup riwayat munculnya gejala, riwayat keluarga, dan faktor pemicu seperti stres atau trauma, menjadi langkah krusial dalam proses diagnostik. Sindrom Tourette, di sisi lain, merupakan gangguan saraf yang menyebabkan munculnya tics, yaitu gerakan atau vokalisasi otot yang tidak disadari dan tidak dapat dikendalikan. Tics motorik dapat berupa kedutan pada wajah atau otot di sekitar mata dan pipi, sementara tics vokalis meliputi suara-suara tak terduga seperti berdehem atau bahkan teriakan. Kondisi ini seringkali menghambat interaksi sosial dan dapat memicu kecemasan atau depresi.
Terapi awal untuk kedua kondisi ini umumnya melibatkan pengobatan dan fisioterapi. Obat-obatan difokuskan untuk meringankan nyeri dan mengurangi kontraksi otot yang tak terkendali, sementara fisioterapi membantu memperbaiki postur tubuh dan meningkatkan kontrol gerakan. Pada kasus sindrom Tourette, terapi psikologis juga penting karena keterkaitannya dengan kecemasan dan gangguan psikologis lain seperti OCD (Obsessive Compulsive Disorder) dan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Dr. Made Agus Mahendra Inggas, spesialis bedah saraf di RS Siloam Lippo Village, menjelaskan hal tersebut.
Sebagai pilihan terapi lanjutan untuk kasus berat yang tak merespon terapi konvensional, terdapat deep brain stimulation (DBS). DBS merupakan prosedur bedah yang melibatkan penanaman elektrode di otak untuk mengirimkan impuls listrik guna mengatur aktivitas saraf yang abnormal. Perangkat ini, yang mirip dengan alat pacu jantung, terhubung ke generator yang ditanam di bawah kulit dada. Di RS Siloam Lippo Village, tingkat keberhasilan DBS mencapai 78-82 persen, sejalan dengan data internasional. Meskipun distonia umumnya memiliki peluang kesembuhan yang lebih tinggi dibandingkan sindrom Tourette, DBS terbukti secara signifikan meningkatkan kualitas hidup pasien untuk kedua kondisi tersebut. Terapi DBS dapat dilakukan secara berkala atau disesuaikan jika efeknya mulai berkurang atau gejala muncul kembali.
Kesimpulan: Distonia dan Sindrom Tourette merupakan gangguan saraf yang memerlukan pendekatan diagnostik dan terapeutik yang komprehensif. Dari terapi konvensional hingga prosedur canggih seperti DBS, tujuan utama adalah meringankan gejala, meningkatkan kualitas hidup, dan membantu pasien untuk dapat beraktivitas dan berinteraksi secara normal.