Polemik Revisi UU TNI: Laporan Polisi terhadap Aktivis Picu Kekhawatiran terhadap Kebebasan Berpendapat
Polemik Revisi UU TNI: Laporan Polisi terhadap Aktivis Picu Kekhawatiran terhadap Kebebasan Berpendapat
Kasus pelaporan tiga aktivis yang menginterupsi rapat revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI ke Kepolisian menimbulkan polemik dan kekhawatiran terhadap pembatasan kebebasan berpendapat. Tindakan para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan ini dinilai oleh beberapa pihak sebagai bagian dari hak konstitusional mereka untuk menyampaikan aspirasi, terutama mengingat proses revisi UU TNI yang dianggap kurang transparan dan partisipatif. Triantono, Dosen Hukum Pidana Universitas Tidar (Untidar), menyatakan bahwa tindakan para aktivis tersebut tidak layak dipidana dan menganggap laporan polisi sebagai preseden buruk bagi kebebasan berekspresi di Indonesia. Ia menekankan pentingnya ruang publik yang terbuka dalam proses pembuatan undang-undang yang berdampak luas seperti revisi UU TNI.
Di sisi lain, Kepolisian Daerah Metro Jaya telah menerima laporan polisi terkait insiden tersebut dengan nomor laporan LP/B/1876/III/2025/SPKT/POLDA METRO JAYA. Laporan tersebut disampaikan oleh seorang security Hotel Fairmont Jakarta dan menuduh para aktivis melakukan tindak pidana mengganggu ketertiban umum, perbuatan memaksa disertai ancaman kekerasan, penghinaan terhadap penguasa, atau badan hukum. Sejumlah pasal dalam KUHP disangkakan kepada para terlapor, termasuk Pasal 172, Pasal 212, Pasal 217, Pasal 335, Pasal 503, dan Pasal 207 UU Nomor 1 Tahun 1946. Proses penyelidikan saat ini masih berlangsung. Penjelasan dari pihak Kepolisian menyebutkan bahwa laporan tersebut tengah dalam tahap penyelidikan. Pernyataan resmi dari pihak Kepolisian menekankan pentingnya proses hukum yang adil dan transparan dalam kasus ini.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, membantah tudingan bahwa rapat revisi UU TNI yang dilakukan di Hotel Fairmont bersifat tertutup dan terkesan terburu-buru. Dasco menegaskan bahwa rapat tersebut terbuka dan telah direncanakan sebelumnya, serta telah berlangsung selama beberapa bulan. Ia juga mengklaim bahwa DPR telah memberikan ruang partisipasi publik dalam proses revisi UU TNI, meskipun penjelasan ini dipertanyakan oleh para aktivis dan pengamat hukum yang menilai partisipasi publik masih sangat terbatas. Pernyataan Dasco ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam proses legislasi di Indonesia. Kontroversi ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara ketertiban umum dan kebebasan berpendapat dalam konteks demokrasi. Perdebatan ini akan terus berlanjut dan berdampak pada bagaimana proses legislasi dijalankan kedepannya.
Berikut poin-poin penting yang perlu diperhatikan:
- Tiga aktivis dilaporkan ke polisi setelah menginterupsi rapat revisi UU TNI.
- Para aktivis tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.
- Seorang dosen hukum menilai pelaporan tersebut sebagai preseden buruk bagi kebebasan berpendapat.
- Kepolisian telah menerima laporan dan menetapkan sejumlah pasal yang disangkakan.
- Wakil Ketua DPR membantah tudingan rapat tertutup dan terburu-buru dalam proses revisi UU TNI.
- Perdebatan mengenai transparansi dan partisipasi publik dalam proses revisi UU TNI masih berlangsung.
- Kasus ini memicu perdebatan mengenai keseimbangan antara ketertiban umum dan kebebasan berpendapat.