Kematian Siswa SMA di Asahan: Perbedaan Versi Polisi dan Investigasi Kontras Picu Polemik

Kematian Siswa SMA di Asahan: Perbedaan Versi Polisi dan Investigasi Kontras Picu Polemik

Kasus kematian Pandu Brata (18), siswa SMA di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, telah menimbulkan kontroversi dan menjadi sorotan publik. Perbedaan mencolok antara kronologi kejadian versi Kepolisian Resor (Polres) Asahan dan hasil investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumut memicu pertanyaan besar mengenai penyebab kematian siswa tersebut. Polisi awalnya menyatakan Pandu meninggal setelah terjatuh saat pengejaran terkait balap liar, sementara Kontras mengungkapkan dugaan penganiayaan oleh oknum polisi yang melibatkan tendangan dan tabrakan sepeda motor. Perbedaan ini telah memicu desakan agar dilakukan penyelidikan yang transparan dan akuntabel untuk mengungkap kebenaran di balik kematian tragis tersebut.

Kronologi Berbeda: Dua Versi yang Berbenturan

Versi resmi dari Polres Asahan menggambarkan peristiwa tersebut bermula dari kegiatan balap liar pada Minggu, 9 Maret 2025, sekitar pukul 00.30 WIB. Petugas kepolisian yang membubarkan balap liar tersebut berusaha menghentikan sekelompok pemuda yang melarikan diri dengan sepeda motor. Menurut keterangan Kasi Humas Polres Asahan, Iptu Anwar Sanusi, Pandu yang berada di boncengan belakang sepeda motor tersebut terjatuh dan mengalami luka di pelipis. Pandu kemudian dibawa ke Puskesmas Simpang Empat, lalu ke Polsek Simpang Empat untuk pembinaan, dan setelah itu pulang bersama keluarganya. Polisi juga menyatakan Pandu positif mengonsumsi narkoba berdasarkan hasil tes urine dan seluruh aktivitasnya di Polsek terekam CCTV. Polisi membantah adanya penganiayaan.

Sebaliknya, investigasi Kontras menunjukkan narasi yang berbeda. Menurut Koordinator Kontras Sumut, Ady, kejadian berawal pada Sabtu, 8 Maret 2025, saat Pandu dan teman-temannya berada di sebuah warung kopi. Saat pulang, mereka melihat balap liar dan pada Minggu dini hari, polisi datang membubarkannya. Kontras menyatakan polisi mengejar Pandu dan teman-temannya, dan seorang oknum polisi diduga menendang sepeda motor yang ditumpangi Pandu, menyebabkan Pandu terjatuh dan tertabrak. Setelah itu, Pandu diduga ditendang dua kali oleh oknum polisi tersebut. Saksi warga juga mendengar tembakan dan melihat Pandu jatuh, diduga diinjak dan ditendang di bagian perut. Kontras mengklaim Pandu sempat mengirim pesan kepada temannya tentang rasa sakit di perutnya. Hasil rontgen kemudian menunjukkan pendarahan di ulu hati dan lambung, yang akhirnya menyebabkan kematiannya pada Senin, 10 Maret 2025.

Rekonstruksi dan Ekshumasi: Mencari Kebenaran

Untuk mengungkap penyebab kematian Pandu, polisi melakukan ekshumasi pada Minggu, 16 Maret 2025, dan rekonstruksi pada Senin, 17 Maret 2025. Hasil ekshumasi akan diumumkan dua minggu kemudian. Rekonstruksi melibatkan tiga orang yang mengenakan rompi tersangka, termasuk Kanit Reskrim Polsek Simpang Empat, Ipda Efendi, dan dua warga sipil. Berdasarkan rekonstruksi, terdapat dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh tersangka Dimas alias Bagol dan Ipda Ahmad Efendi terhadap Pandu.

Meskipun Polda Sumut telah berjanji untuk mengambil tindakan hukum jika ditemukan pelanggaran prosedur atau tindakan di luar kewenangan, perbedaan versi kejadian ini menimbulkan keraguan dan menuntut proses penyelidikan yang lebih transparan dan menyeluruh. Publik menantikan hasil investigasi yang objektif dan penegakan hukum yang adil dalam kasus kematian Pandu Brata. Kejelasan atas kronologi kejadian dan pertanggungjawaban atas tindakan yang menyebabkan kematian Pandu sangat dibutuhkan untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang.