Praktik Prostitusi Gang Royal: Kebuntuan Penertiban dan Dilema Pemerintah Kelurahan
Praktik Prostitusi Gang Royal: Kebuntuan Penertiban dan Dilema Pemerintah Kelurahan
Praktik prostitusi di Gang Royal, Pekojan, Tambora, Jakarta Barat, kembali menjadi sorotan setelah upaya penertiban yang dilakukan beberapa waktu lalu terbukti tidak efektif. Meskipun Pemkot Jakarta Barat telah melakukan penggusuran bangunan di sepanjang rel kereta api pada tahun 2023, praktik prostitusi tersebut bangkit kembali hanya dalam waktu dua bulan. Keberadaan praktik ini menimbulkan keresahan di kalangan warga sekitar yang merasa terganggu oleh aktivitas tersebut. Ketidakmampuan pemerintah kelurahan untuk sepenuhnya memberantas praktik ini pun menjadi permasalahan yang kompleks.
Lurah Pekojan, Syaiful Fuad, mengakui keterbatasan kewenangannya dalam menangani permasalahan ini. Pihak kelurahan hanya mampu melakukan imbauan kepada para pekerja seks komersial (PSK), namun imbauan tersebut terbukti tidak membuahkan hasil yang signifikan. Upaya yang lebih besar, seperti pembangunan taman di lahan milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang berada di lokasi tersebut, juga menemui jalan buntu karena alasan keselamatan penumpang kereta api. Hal ini semakin memperumit upaya pemberantasan praktik prostitusi di Gang Royal.
Kebuntuan Upaya Penertiban
Setelah rapat internal bersama delapan unsur masyarakat Pekojan, terungkap adanya kesepakatan untuk menutup Gang Royal dan membongkar bangunan yang digunakan untuk praktik prostitusi. Namun, dua unsur masyarakat meminta penundaan rencana tersebut. Meskipun demikian, Lurah Syaiful telah mengirimkan surat hasil rapat tersebut kepada Satpol PP Kecamatan Tambora untuk ditindaklanjuti. Ketidakpastian akan keberhasilan penertiban ini tetap terasa, mengingat pengalaman sebelumnya yang menunjukkan bahwa penggusuran tidak memberikan solusi jangka panjang.
Dilema Lurah dan Kewenangan Terbatas
Lurah Syaiful mengungkapkan dilema yang dihadapinya. Di satu sisi, ia menerima tuntutan warga untuk membersihkan lingkungan dari praktik prostitusi yang meresahkan. Di sisi lain, ia terkendala oleh kepemilikan lahan yang berada di bawah PT KAI, sehingga kewenangan pemerintah kelurahan untuk melakukan tindakan tegas menjadi terbatas. Perbedaan ini dengan wilayah lain seperti Penjaringan, yang memiliki aset pemerintah di lokasi serupa, menjadi perbandingan yang menyoroti kompleksitas masalah ini. Ketidakjelasan kewenangan dan prosedur penanganan menjadi penghalang utama dalam upaya pemberantasan.
Ketakutan dan Kepasrahan Warga
Seorang warga Tambora yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan rasa pasrahnya terhadap situasi ini. Pengalaman sebelumnya yang menunjukkan bahwa bangunan yang dibongkar dibangun kembali dalam waktu singkat, menyebabkan rasa pesimistis terhadap keberhasilan upaya penertiban kali ini. Selain itu, warga juga merasa takut untuk bersuara karena ancaman dari preman yang menjaga kawasan tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana praktik prostitusi di Gang Royal bukan hanya masalah pemerintah, tetapi juga berkaitan dengan masalah keamanan dan keterbatasan akses warga untuk mendapatkan keadilan.
Kesimpulannya, permasalahan prostitusi di Gang Royal mencerminkan kompleksitas masalah sosial perkotaan yang membutuhkan pendekatan multipihak dan terintegrasi. Ketidakjelasan kewenangan, terbatasnya sumber daya, dan keterlibatan pihak-pihak lain seperti PT KAI dan preman menjadi hambatan dalam upaya pemberantasan. Perlu adanya sinergi yang lebih kuat antara pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat untuk menemukan solusi jangka panjang yang efektif dan berkelanjutan dalam mengatasi masalah ini.