Tantangan dan Peluang Investasi Kilang Minyak Indonesia di Era Geopolitik Global

Tantangan dan Peluang Investasi Kilang Minyak Indonesia di Era Geopolitik Global

Modernisasi dan perluasan kapasitas kilang minyak di Indonesia menjadi agenda krusial guna menekan biaya produksi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan meningkatkan efisiensi energi nasional. Namun, Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Taufik Aditiyawarman, menekankan bahwa hambatan dalam pengembangan kilang bukan hanya sebatas kendala teknologi, melainkan juga kompleksitas geopolitik global yang berdampak signifikan pada kecepatan realisasi investasi. Pernyataan ini disampaikannya dalam sebuah wawancara di Jakarta pada Senin, 17 Maret 2025.

"Faktor geopolitik berpengaruh besar terhadap kecepatan proyek," ujar Taufik. "Selain itu, pengembangan kilang membutuhkan suntikan modal yang sangat besar dan kolaborasi strategis, baik dengan mitra domestik maupun internasional." Roadmap pengembangan kilang nasional mengincar kapasitas pengolahan hingga 1,4 juta barel per hari melalui program Refinery Development Master Plan (RDMP) dan pembangunan kilang baru (Grass Root Refinery/GRR). Namun, realisasi proyek ini menghadapi kendala, terutama dalam kerja sama internasional, seperti yang terlihat pada proyek GRR Tuban.

Untuk mempercepat proses, KPI membuka peluang bagi investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) untuk turut serta dalam pendanaan dan transfer teknologi. "Investasi asing sangat vital karena keterbatasan sumber daya minyak domestik. Kerja sama yang tepat akan memastikan pasokan BBM untuk kebutuhan dalam negeri, sekaligus memberikan investor kepastian pasokan crude oil dalam rantai pasok mereka," jelas Taufik. Kemampuan kilang untuk mengolah berbagai jenis bahan baku (feedstock) juga menjadi faktor penarik investasi.

Kilang-kilang tua di Indonesia, misalnya Kilang Plaju yang beroperasi sejak 1907, menghadapi peningkatan biaya operasional akibat menipisnya cadangan minyak lokal dan lonjakan biaya logistik. Modernisasi kilang menjadi solusi untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing. "Kilang lama seperti mobil tua, boros energi. Kilang modern lebih otomatis dan hemat energi. Tanpa investasi efisiensi, harga BBM sulit ditekan," tegasnya.

Diversifikasi Produk: Menuju Biofuel dan Petrokimia

Selain BBM, pengembangan kilang juga diarahkan pada produksi biofuel dan petrokimia, sebagai upaya mengurangi ketergantungan impor LPG dan bahan baku industri kimia. Salah satu inovasi yang dikembangkan adalah produksi bioavtur dari minyak jelantah, guna memenuhi kebutuhan penerbangan internasional. "Kami sedang menguji coba produksi bioavtur di Kilang Cilacap. Jika berhasil, produksi akan diperluas ke Plaju dan Dumai. Ini bagian dari strategi mendukung energi bersih dan meningkatkan nilai tambah sumber daya dalam negeri," ungkap Taufik.

Proyek-proyek ini membutuhkan investasi besar. Pengembangan bio refinery baru, misalnya, diperkirakan membutuhkan dana sekitar US$ 600 hingga 800 juta, yang akan diperoleh melalui kerja sama dengan kolektor minyak jelantah sebagai equity partner dan mitra dagang dengan akses ke pasar internasional.

Strategi Penekanan Biaya Energi

Struktur biaya kilang didominasi oleh biaya bahan baku (feedstock) sebesar 90 persen, sementara biaya operasional dan overhead hanya 10 persen. Oleh karena itu, menekan harga bahan baku menjadi kunci utama dalam menjaga keterjangkauan harga BBM bagi masyarakat. "Jika kita mampu menurunkan harga feedstock satu dolar per barel, dengan kapasitas pengolahan 350 juta barel per tahun, kita dapat menghemat hingga US$ 700 juta," kata Taufik.

Dengan strategi investasi tepat dan kolaborasi yang kuat, Indonesia diharapkan mampu mempercepat modernisasi kilang, meningkatkan efisiensi energi, dan memperkuat ketahanan energi nasional dalam menghadapi dinamika pasar global yang kompleks.