RKUHAP Batasi Penerapan Restorative Justice: Kasus Korupsi dan Ancaman terhadap Presiden/Wapres Tak Termasuk

RKUHAP Batasi Penerapan Restorative Justice: Kasus Korupsi dan Ancaman terhadap Presiden/Wapres Tak Termasuk

Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang tengah digodok memuat pengaturan mengenai restorative justice atau keadilan restoratif. Namun, implementasi mekanisme penyelesaian perkara di luar pengadilan ini tidaklah universal dan terdapat sejumlah pengecualian penting yang diatur dalam pasal-pasal spesifik. Informasi ini didapatkan dari salinan draf RKUHAP yang diterima dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, pada Selasa (18/3/2025).

Salah satu poin krusial dalam draf tersebut adalah pembatasan penerapan restorative justice pada sejumlah tindak pidana tertentu. Pasal 77 secara tegas menyebutkan beberapa kategori kejahatan yang tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif. Kategori-kategori tersebut meliputi:

  • Tindak pidana terhadap keamanan negara.
  • Tindak pidana yang menyerang martabat Presiden dan Wakil Presiden.
  • Tindak pidana yang menyerang martabat negara sahabat dan kepala negaranya.
  • Tindak pidana terhadap ketertiban umum dan kesusilaan.
  • Tindak pidana terorisme.
  • Tindak pidana korupsi.
  • Tindak pidana tanpa korban.
  • Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih (kecuali karena kealpaan).
  • Tindak pidana terhadap nyawa orang.
  • Tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus.
  • Tindak pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat.
  • Tindak pidana narkotika (kecuali pengguna).

Lebih lanjut, mekanisme restorative justice dalam RKUHAP, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 74, difokuskan pada penyelesaian perkara di luar persidangan. Proses ini dapat dilakukan pada tahap penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan. Syarat-syarat penerapannya diatur secara rinci dalam Pasal 75, mencakup:

  • Pelaku tindak pidana adalah pelaku pertama kali.
  • Terdapat pemulihan keadaan semula oleh pelaku.
  • Terdapat kesepakatan perdamaian antara korban dan pelaku.

Prosedur pengajuan restorative justice dijelaskan dalam Pasal 76. Permohonan dapat diajukan oleh pelaku (tersangka, terdakwa, terpidana), keluarganya, korban, atau keluarga korban. Selain itu, inisiatif juga dapat datang dari penyelidik, penyidik, penuntut umum, atau bahkan secara langsung kepada korban dan tersangka. Yang terpenting, proses ini harus dilakukan tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 76 ayat (2).

Kesimpulannya, draf RKUHAP ini secara hati-hati membatasi ruang lingkup penerapan restorative justice. Pengecualian yang signifikan terhadap kejahatan serius, seperti korupsi dan kejahatan yang mengancam keamanan negara atau pemimpin negara, menunjukkan suatu pendekatan yang mempertimbangkan aspek keadilan, keamanan, dan kepentingan publik secara keseluruhan. Hal ini perlu menjadi pertimbangan mendalam dalam pembahasan lebih lanjut RKUHAP di parlemen.