Dilema Pencabutan Moratorium PMI: Antara Keuntungan Ekonomi dan Risiko Hak Asasi Manusia

Dilema Pencabutan Moratorium PMI: Antara Keuntungan Ekonomi dan Risiko Hak Asasi Manusia

Rencana pencabutan moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT) ke Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, telah memicu perdebatan sengit. Pemerintah mengklaim kebijakan ini akan mendongkrak devisa negara hingga Rp 31 triliun dan membuka peluang kerja bagi 60.000 PMI. Namun, di balik angka-angka menjanjikan tersebut, bayang-bayang eksploitasi, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia mengancam para pekerja migran. Kisah pilu PMI yang mengalami penyiksaan, bahkan hingga hukuman mati, mengingatkan kita pada risiko yang mengintai di balik janji kesejahteraan ekonomi.

Seorang ibu di pelosok desa Jawa menjadi representasi dari dilema ini. Harapan akan penghasilan yang lebih baik bagi anaknya bercampur aduk dengan kekhawatiran akan nasib sang anak di negeri asing. Ketakutan ini berakar pada pengalaman pahit keluarga dan kerabatnya yang menjadi korban eksploitasi di Timur Tengah. Kasus Susanti, seorang TKW yang terancam hukuman mati dan membutuhkan tebusan Rp 40 miliar, merupakan contoh nyata betapa rentannya posisi PMI di luar negeri. Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah pencabutan moratorium ini akan benar-benar meningkatkan kesejahteraan PMI atau justru mengulang tragedi kemanusiaan?

Sejarah Kelam dan Upaya Reformasi yang Terganjal

Kebijakan moratorium yang diberlakukan sejak 2011 sebagai respons atas meningkatnya kasus kekerasan terhadap PMI, ternyata menimbulkan paradoks. Penutupan jalur resmi justru mendorong migrasi ilegal yang lebih berisiko. Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) yang digagas sebagai solusi, belum mampu mengatasi masalah ini secara efektif. SPSK, yang menggantikan sistem Kafalah dengan sistem Sarikah, masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk kurangnya transparansi, monopoli oleh pihak tertentu, dan pengawasan yang lemah. Akibatnya, banyak PMI masih bekerja melalui jalur ilegal dan rentan terhadap eksploitasi.

  • Sistem Kafalah: Memberikan kendali penuh kepada majikan, mengakibatkan penahanan paspor, pembatasan kebebasan bergerak, dan kesulitan berpindah kerja. Sistem ini telah lama dikritik sebagai bentuk perbudakan modern.
  • Sistem Sarikah: Meskipun pekerja berada di bawah perusahaan perekrutan, mereka masih rentan terhadap perlakuan tidak adil, pemindahan majikan secara sepihak, dan upah yang tidak layak. Pekerja seringkali diperlakukan sebagai tenaga kerja rental.

Kedua sistem ini, baik Kafalah maupun Sarikah, memiliki kelemahan struktural yang berpotensi memperparah eksploitasi PMI. Kurangnya pengawasan dan penegakan hukum membuat PMI sulit mendapatkan perlindungan ketika hak-hak mereka dilanggar. Mereka menghadapi kondisi kerja yang tidak manusiawi, termasuk jam kerja panjang tanpa istirahat, upah rendah, dan bahkan kekerasan fisik dan psikis.

Perlunya Perlindungan yang Bermartabat

Pencabutan moratorium harus disertai dengan reformasi sistemik yang menempatkan perlindungan hak asasi manusia PMI sebagai prioritas utama. Pemerintah Indonesia harus menuntut perubahan struktural di Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah, termasuk penghapusan sistem Kafalah dan reformasi sistem Sarikah yang lebih transparan dan akuntabel. Model perlindungan seperti yang diterapkan Filipina, dengan adanya atase ketenagakerjaan dan sistem pengaduan yang efektif, dapat menjadi contoh yang patut ditiru. Indonesia tidak boleh hanya mengejar keuntungan ekonomi semata, tetapi juga harus memastikan keselamatan dan kesejahteraan PMI.

Pemerintah juga harus meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan perekrut, menjamin transparansi dalam proses penempatan, dan menyediakan akses yang mudah bagi PMI untuk melaporkan pelanggaran. Pentingnya edukasi dan pelatihan bagi PMI sebelum keberangkatan juga tidak boleh diabaikan. Hanya dengan pendekatan holistik yang memperhatikan aspek ekonomi dan perlindungan hak asasi manusia, pencabutan moratorium dapat membawa dampak positif bagi PMI dan tidak mengulang tragedi di masa lalu. PMI bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi manusia yang berhak mendapatkan perlindungan dan martabat.