Ibu Tangguh di Madura: Perjuangan Tanpa Henti Merawat Putra Penyandang Epilepsi
Ibu Tangguh di Madura: Perjuangan Tanpa Henti Merawat Putra Penyandang Epilepsi
Di sebuah rumah sederhana di Desa Jangkar, Kecamatan Tanah Merah, Bangkalan, Madura, hiduplah Masruro (28), seorang ibu yang gigih berjuang merawat putra kesayangannya, Ibnul Karim (7), yang menderita epilepsi. Kehidupan sehari-harinya diwarnai kewaspadaan dan kesabaran luar biasa dalam menghadapi tantangan merawat anak dengan kondisi medis yang memerlukan penanganan khusus di tengah keterbatasan akses layanan kesehatan di pelosok Madura.
Lima tahun telah berlalu sejak Ibnul pertama kali mengalami serangan epilepsi saat berusia dua tahun. Kenangan pilu itu masih terpatri jelas dalam ingatan Masruro. Tanpa akses mudah ke fasilitas kesehatan modern, keluarga Masruro awalnya hanya mengandalkan pengobatan tradisional yang telah turun-temurun dipraktikkan di desa tersebut – membaringkan Ibnul di tanah saat serangan terjadi. Keputusan ini diambil bukan karena ketidakpedulian, melainkan karena keterbatasan ekonomi dan jarak yang jauh ke pusat layanan kesehatan terdekat menjadi penghalang besar bagi keluarga kecil ini untuk mendapatkan diagnosis dan perawatan medis yang memadai. Masruro mengakui bahwa Ibnul belum pernah mendapatkan diagnosis formal dari tenaga medis profesional.
Namun, keterbatasan tersebut tidak mematahkan semangat Masruro. Ia dan keluarga besarnya bahu membahu merawat Ibnul. Rutinitas sehari-hari keluarga pun berubah drastis. Mereka selalu siaga mengawasi Ibnul setiap saat, selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya serangan epilepsi. Kehadiran Ibnul telah mengubah dinamika keluarga, menuntut kesigapan dan pengorbanan yang luar biasa dari setiap anggota keluarga.
Masruro, dengan keterbatasan akses informasi, berupaya keras mencari pengetahuan tentang epilepsi. Ia belajar dari pengalaman, bertanya kepada orang-orang yang pernah mengalami hal serupa, dan mencari informasi sebisa mungkin untuk memahami kondisi putranya serta cara terbaik untuk menanganinya. Meskipun pengetahuan medisnya didapat secara informal, upaya Masruro ini menunjukkan tekadnya yang tak kenal lelah untuk memberikan yang terbaik bagi Ibnul.
Kekhawatiran terbesar Masruro adalah kemungkinan terjadinya serangan epilepsi ketika Ibnul sendirian atau tidak ada orang di sekitarnya. Oleh karena itu, ia gencar meminta bantuan keluarga dan tetangga untuk selalu waspada terhadap kondisi Ibnul. Kecemasan ini merupakan refleksi nyata dari risiko yang dihadapi anak-anak penyandang epilepsi di daerah dengan keterbatasan akses layanan kesehatan, dimana penanganan yang tepat dan cepat sangat krusial untuk mencegah terjadinya komplikasi serius bahkan kematian. Kisah Masruro menjadi bukti nyata tentang perjuangan para ibu di daerah terpencil dalam menghadapi berbagai tantangan untuk memastikan kesehatan dan keselamatan anak-anak mereka.
Kehidupan Masruro dan Ibnul merupakan potret nyata tentang kesenjangan akses layanan kesehatan di Indonesia, khususnya di daerah terpencil. Kisah ini juga menyoroti pentingnya upaya pemerintah dan lembaga terkait untuk meningkatkan akses layanan kesehatan yang berkualitas, terjangkau, dan merata di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di pelosok Madura. Melalui kisah ini, diharapkan dapat menjadi pengingat akan perlunya kepedulian dan dukungan dari berbagai pihak untuk membantu keluarga seperti Masruro dalam menghadapi tantangan dalam merawat anak penyandang epilepsi.