Serangan Udara Israel di Gaza: Konsultasi dengan AS dan Eskalasi Konflik

Serangan Udara Israel di Gaza: Konsultasi dengan AS dan Eskalasi Konflik

Serangan udara besar-besaran yang dilancarkan militer Israel terhadap Jalur Gaza telah menimbulkan gelombang kecaman internasional dan meningkatkan kekhawatiran atas eskalasi konflik yang lebih luas. Serangan yang menewaskan lebih dari 200 warga sipil ini terjadi setelah pemerintahan Israel mengklaim telah berkonsultasi dengan pemerintahan Amerika Serikat sebelum melancarkan operasi militer tersebut. Pernyataan resmi dari Gedung Putih mengkonfirmasi adanya konsultasi antara kedua negara, menimbulkan pertanyaan tentang tingkat keterlibatan AS dalam serangan tersebut.

Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, dalam wawancara di Fox News, menyatakan bahwa pemerintahan Trump telah diajak berkonsultasi oleh Israel sebelum serangan udara dilakukan. Leavitt menegaskan kembali sikap keras Presiden Trump terhadap kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi Amerika Serikat dan Israel, termasuk Hamas, Houthi, dan Iran, menekankan bahwa tindakan terorisme akan mendapatkan konsekuensi yang berat. Pernyataan ini selaras dengan peringatan sebelumnya dari Presiden Trump yang mendesak Hamas untuk membebaskan sandera yang ditawan, mengancam akan terjadi "kekacauan" jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi. Namun, pernyataan tersebut tidak secara eksplisit mengkonfirmasikan dukungan AS terhadap serangan Israel.

Pihak Israel sendiri berdalih bahwa serangan tersebut merupakan respons terhadap penolakan berulang Hamas untuk membebaskan sandera dan menolak berbagai usulan perundingan yang dimediasi oleh Utusan Presiden AS Steve Witkoff dan mediator lainnya. Kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa operasi militer akan berlanjut selama diperlukan dan mungkin akan diperluas melampaui serangan udara. Seorang pejabat Israel yang berbicara secara anonim kepada AFP mengkonfirmasi hal ini, mengindikasikan potensi operasi darat di masa mendatang. Sementara itu, Hamas mengecam keras serangan tersebut sebagai pelanggaran gencatan senjata yang telah dimediasi oleh Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat, dan menuduh Netanyahu dan pemerintahannya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terhentinya proses perdamaian.

Gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari dan sebagian besar berhasil menghentikan pertempuran selama lebih dari 15 bulan di Gaza, telah berakhir pada awal Maret. Meskipun kedua belah pihak sempat menahan diri dari perang besar-besaran setelah berakhirnya gencatan senjata, upaya untuk mencapai kesepakatan mengenai langkah-langkah selanjutnya untuk perundingan gencatan senjata tetap menemui jalan buntu. Serangan udara terbaru ini telah sepenuhnya menghancurkan harapan tersebut dan membuka kembali luka lama konflik Israel-Palestina, memperburuk situasi kemanusiaan di Gaza yang telah rapuh sebelumnya.

Kejadian ini menyoroti kompleksitas situasi politik dan keamanan di Timur Tengah, dengan keterlibatan aktor internasional yang signifikan. Peran AS dalam konsultasi pra-serangan menimbulkan pertanyaan penting tentang tanggung jawab dan implikasi kebijakan luar negeri AS di wilayah tersebut. Situasi ini menuntut penyelesaian damai yang berkelanjutan dan menghentikan kekerasan, sehingga melindungi warga sipil dan memulai proses pembangunan perdamaian yang sebenarnya.

  • Kronologi Peristiwa:
    • 19 Januari: Dimulai gencatan senjata yang dimediasi Qatar, Mesir, dan AS.
    • Awal Maret: Gencatan senjata berakhir tanpa kesepakatan lanjutan.
    • 17 Maret: Israel berkonsultasi dengan AS sebelum serangan udara.
    • 18 Maret: Serangan udara besar-besaran Israel di Gaza, menewaskan lebih dari 200 orang.