Anjloknya IHSG 6,12 Persen: Faktor Domestik Jadi Pemicu Utama
Anjloknya IHSG 6,12 Persen: Faktor Domestik Jadi Pemicu Utama
Penurunan drastis Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 6,12 persen atau 395,86 poin, hingga mencapai level 6.076,08 pada penutupan perdagangan sesi I, Selasa (18/3/2025), telah mengguncang pasar modal Indonesia. Peristiwa ini juga diwarnai dengan pembekuan sementara perdagangan (trading halt) oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) dari pukul 11:19 hingga 11:49 WIB, merupakan yang pertama sejak awal pandemi Maret 2020. Anjloknya IHSG pasca-trading halt ini didominasi oleh sentimen negatif domestik, berbeda dengan kondisi pasar regional dan global yang relatif stabil.
Para analis sepakat bahwa beberapa faktor internal telah berkontribusi signifikan terhadap pelemahan IHSG. Penurunan penerimaan negara, yang berdampak pada defisit anggaran yang membengkak dan kebutuhan pembiayaan yang meningkat, menjadi salah satu penyebab utama. Kondisi ini diperparah oleh sikap wait and see pelaku pasar terhadap kebijakan pemerintah, khususnya program Danantara dan Makan Bergizi Gratis (MGB), di tengah proses realokasi anggaran yang tengah berlangsung. Ketidakpastian ini semakin diperburuk oleh penurunan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK), yang dipengaruhi oleh kondisi ketenagakerjaan yang kurang menguntungkan. Situasi ini bahkan telah mendorong sejumlah analis asing ternama, seperti Goldman Sachs, JP Morgan, dan Morgan Stanley, untuk menurunkan peringkat saham Indonesia.
Lebih lanjut, pemangkasan outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), dari 5,2 persen menjadi 4,9 persen, turut menambah tekanan terhadap IHSG. Anjloknya penerimaan negara hingga 30 persen, dengan penerimaan pajak hanya mencapai Rp 269 triliun (penurunan 30,19% YoY), dan defisit APBN mencapai Rp 3,2 triliun per bulan, telah membuat kondisi fiskal semakin mengkhawatirkan. Defisit ini memaksa pemerintah untuk menerbitkan utang dalam jumlah yang lebih besar, melemahkan nilai tukar rupiah dan meningkatkan risiko fiskal. Kondisi ini diperparah dengan penurunan belanja pemerintah sebesar 7 persen, yang mengakibatkan peningkatan utang sebesar 44,77 persen pada Januari 2025. Kenaikan utang ini menimbulkan kekhawatiran di pasar, sehingga investor cenderung menghindari investasi di pasar saham dan memilih aset yang lebih aman, seperti obligasi.
Meskipun sentimen eksternal, seperti tensi geopolitik, pembalasan tarif dagang dari Uni Eropa, dan kekhawatiran resesi di Amerika Serikat, turut memengaruhi pergerakan IHSG, dampaknya relatif lebih kecil dibandingkan dengan faktor-faktor domestik. Kesimpulannya, anjloknya IHSG merupakan cerminan dari tantangan ekonomi domestik yang kompleks, menuntut pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah strategis guna mengatasi permasalahan ini dan mengembalikan kepercayaan investor.
- Analisis mendalam tentang dampak penurunan penerimaan negara terhadap defisit anggaran dan kebutuhan pembiayaan.
- Perbandingan dampak sentimen domestik dan global terhadap pergerakan IHSG.
- Tinjauan terhadap kebijakan pemerintah dan dampaknya terhadap pasar modal.
- Analisis risiko fiskal Indonesia dan implikasinya terhadap investasi.
- Pandangan para ahli terkait prospek IHSG ke depannya.