Revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan Menuai Gelombang Penolakan: Ancaman terhadap Demokrasi dan Ruang Sipil?
Revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan Menuai Gelombang Penolakan: Ancaman terhadap Demokrasi dan Ruang Sipil?
Rancangan Undang-Undang (RUU) revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia tengah menjadi sorotan tajam menyusul gelombang penolakan yang meluas dari berbagai kalangan. Legislator, organisasi non-pemerintah (NGO), koalisi perempuan, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap sejumlah klausul dalam RUU tersebut yang dinilai berpotensi mengancam demokrasi dan melemahkan kontrol sipil terhadap aparat penegak hukum. Masuknya revisi UU TNI ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 semakin memperkuat kekhawatiran tersebut.
Salah satu poin kontroversial yang disoroti adalah usulan perpanjangan masa pensiun prajurit TNI hingga usia 60 bahkan 62 tahun. Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Demokrat, Frederik Kalalembang, mempertanyakan relevansi usulan tersebut mengingat tingginya jumlah perwira TNI yang saat ini tidak memiliki penugasan (nonjob). Beliau berpendapat bahwa penambahan masa pensiun tanpa solusi untuk mengatasi masalah nonjob justru akan memperburuk situasi. Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, TB Hasanuddin, mengungkapkan kekhawatiran terhadap rencana yang memungkinkan perwira TNI menduduki jabatan sipil. Beliau melihat potensi kebangkitan dwifungsi ABRI era Orde Baru dan dampak negatifnya terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN).
Selain isu perpanjangan masa pensiun dan penempatan perwira TNI di jabatan sipil, RUU ini juga dikritik karena berpotensi memperluas kewenangan institusi militer dan mengurangi pengawasan publik. Wakil Koordinator Kontras, Andrie Yunus, menyatakan penolakan terhadap RUU tersebut karena dianggap tidak menjawab persoalan reformasi sektor keamanan, melainkan justru meningkatkan kewenangan militer dan mengurangi transparansi. Hal senada juga diungkapkan oleh Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang menilai RUU ini mengancam demokrasi dan menciptakan ambiguitas kewenangan yang berujung pada penyalahgunaan kekuasaan. KPI juga khawatir RUU ini akan membuka ruang bagi pendekatan militeristik dalam penanganan isu sipil dan menekan ruang gerak masyarakat sipil.
Penolakan terhadap RUU revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan tidak hanya datang dari KPI, namun juga dari sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya seperti Imparsial, PBHI, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Setara Institute, dan BEM SI Kerakyatan. Mereka secara bersama-sama menyuarakan keprihatinan dan menuntut agar proses revisi RUU ini dihentikan atau setidaknya dilakukan dengan melibatkan partisipasi publik secara luas dan transparan, serta mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
- Poin-poin Kritik terhadap Revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan:
- Usulan perpanjangan usia pensiun TNI hingga 60-62 tahun dinilai tidak relevan dengan banyaknya perwira nonjob.
- Rencana penempatan perwira TNI di jabatan sipil dikhawatirkan akan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI.
- RUU berpotensi memperluas kewenangan militer dan mengurangi kontrol sipil.
- RUU dinilai mengancam demokrasi dan ruang sipil.
- RUU berpotensi membuka ruang bagi pendekatan militeristik dalam isu sipil.
Kesimpulannya, revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan menghadapi penolakan yang masif dari berbagai elemen masyarakat. Perdebatan mengenai RUU ini menuntut perhatian serius dari pemerintah dan DPR RI untuk menimbang kembali isi RUU dan mempertimbangkan masukan dari masyarakat sipil demi menjaga demokrasi dan keselamatan bangsa.