Anjloknya IHSG: Pemerintah Tetap Optimis di Tengah Gejolak Pasar Global
Anjloknya IHSG: Pemerintah Tetap Optimis di Tengah Gejolak Pasar Global
Penurunan tajam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih dari 6 persen pada perdagangan sesi pertama Selasa, 18 Maret 2025, telah memicu perhatian luas. Peristiwa ini ditandai dengan pemberlakuan trading halt oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) setelah IHSG jatuh lebih dari 5 persen, mengakibatkan IHSG melemah 395,87 poin (6,12 persen) ke level 6.076,08. Indeks LQ45 pun turut terkoreksi signifikan, turun 38,27 poin (5,25 persen) ke 691,08. Meskipun demikian, Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Todotua Pasaribu, menegaskan bahwa pemerintah tidak melihat hal ini sebagai suatu masalah yang serius.
Dalam keterangannya di Kantor Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Jakarta, Senin, Todotua menjelaskan bahwa fluktuasi pasar saham adalah hal yang lazim dan dipengaruhi berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Ia menekankan pentingnya melihat konsistensi pemerintah dalam mengeksekusi program investasi dan percepatan hilirisasi sebagai kunci utama dalam menghadapi dinamika pasar. Keberadaan Badan Pengelola Investasi Danantara juga disebut sebagai faktor pendorong percepatan investasi, mengingat potensi sumber daya alam dan pasar domestik yang besar serta posisi strategis Indonesia di kancah global.
Lebih lanjut, Todotua menambahkan bahwa fokus pemerintah tetap tertuju pada pelaksanaan program-program yang telah dicanangkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Ia meyakini bahwa konsistensi tersebut menjadi strategi yang tepat untuk mengatasi tantangan pasar yang dinamis dan penuh ketidakpastian. Pemerintah, menurutnya, tetap optimis menghadapi kondisi ini, berharap mampu menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Sementara itu, analis pasar memberikan pandangan yang berbeda. Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nicodemus, memaparkan beberapa faktor yang berkontribusi pada pelemahan IHSG. Salah satu faktor utama adalah meningkatnya ketidakpastian global, yang antara lain dipengaruhi oleh ketegangan geopolitik, eskalasi konflik Rusia-Ukraina, dan kebijakan tarif balasan Uni Eropa terhadap Amerika Serikat. Kekhawatiran akan resesi di Amerika Serikat juga ikut menekan sentimen investor global, mendorong mereka untuk beralih ke aset yang dianggap lebih aman.
Di dalam negeri, kondisi fiskal yang memburuk juga menjadi perhatian. Penurunan penerimaan negara hingga 30 persen mengakibatkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) membengkak. Defisit APBN per Februari 2025 tercatat mencapai Rp 31,2 triliun, jauh berbeda dengan surplus Rp 22,8 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini tercermin dari penerimaan pajak domestik yang turun 30,19 persen (yoy) menjadi Rp 269 triliun. Di sisi lain, belanja negara mengalami kontraksi 7 persen, sementara utang pemerintah melonjak 44,77 persen pada Januari 2025. Kondisi ini meningkatkan risiko fiskal dan membatasi ruang gerak Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga, sehingga semakin menekan pasar saham.
Aturan trading halt di BEI sendiri berlapis, mulai dari penghentian sementara perdagangan jika IHSG turun lebih dari 5 persen, hingga penghentian perdagangan sepenuhnya (trading suspend) jika penurunan mencapai lebih dari 15 persen. Peristiwa ini mengingatkan kembali pentingnya strategi mitigasi risiko bagi investor dan perlunya antisipasi atas gejolak pasar global yang dapat berdampak signifikan terhadap pasar modal domestik.
Mekanisme Trading Halt BEI:
- Penurunan IHSG lebih dari 5 persen: Trading halt sementara.
- Penurunan IHSG lebih dari 10 persen: Trading halt diperpanjang 30 menit.
- Penurunan IHSG lebih dari 15 persen: Trading suspend (penghentian perdagangan sepenuhnya).