Membangun Tata Kelola Pemerintahan yang Baik: Tantangan dan Strategi Kepala Daerah Baru di Maluku Utara
Membangun Tata Kelola Pemerintahan yang Baik: Tantangan dan Strategi Kepala Daerah Baru di Maluku Utara
Menjabat sebagai kepala daerah merupakan amanah yang sarat tanggung jawab. Sebelum memulai periode kepemimpinan, kepala daerah baru dihadapkan pada tantangan besar dalam memetakan risiko potensial yang dapat menghambat jalannya pemerintahan. Proses due diligence yang menyeluruh menjadi kunci utama. Evaluasi ini mencakup berbagai aspek krusial, mulai dari profil pejabat eselon utama (kepala OPD/SKPD), struktur organisasi dan tata kerja, hingga aspek legal, tata kelola, pelayanan publik, dan pengendalian internal. Uji tuntas terhadap kepatuhan hukum pada seluruh produk hukum daerah dan proses bisnis (tata kelola) juga wajib dilakukan untuk memastikan kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tinjauan kritis terhadap keputusan-keputusan kepala daerah sebelumnya juga perlu dilakukan dari lima perspektif: dasar hukum, prosedur, kinerja, dampak, dan pertanggungjawaban. Hal ini berlaku pula bagi peraturan-peraturan yang dikeluarkan kepala daerah sebelumnya.
Kepala daerah harus memastikan seluruh prosedur pelaksanaan kewenangan dan tugas-fungsi telah terdokumentasi dengan baik dan tertuang dalam surat keputusan kepala daerah (beschikking). Ketiadaan prosedur yang jelas dapat meningkatkan risiko pelanggaran hukum bagi kepala daerah dan pimpinan OPD/SKPD. Prosedur yang tertib bertindak sebagai early warning system untuk mencegah pelanggaran yuridis.
Reformasi Birokrasi Menuju Tata Kelola yang Efektif dan Akuntabel
1. Penerapan Merit Sistem: Reformasi birokrasi harus dimulai dengan implementasi merit sistem yang transparan dan akuntabel. Pengisian jabatan dan mutasi harus didasarkan pada penilaian kompetensi teknis dan manajerial, kinerja, latar belakang pendidikan, dan rekam jejak. Panitia seleksi daerah yang independen, imparsial, dan kompeten harus dibentuk untuk memastikan proses seleksi yang objektif. Praktik patronage yang menempatkan birokrat berdasarkan kedekatan personal harus dihindari. Sistem open bidding atau lelang jabatan menjadi mekanisme yang ideal untuk memastikan transparansi dan keadilan. Mutasi juga harus menggunakan metode assessment yang objektif dan transparan untuk mencegah praktik jual beli jabatan. Pejabat yang telah menjabat selama lima tahun wajib dievaluasi atau dimutasi sesuai regulasi yang berlaku.
2. Penguatan Sistem Pengawasan dan Pengendalian: Sistem pengendalian internal yang handal tidak cukup hanya bergantung pada Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Kepala daerah perlu membangun sistem berbasis partisipasi publik, seperti whistleblower, watchdog, dan citizen journalism. Pembentukan tim pengawasan incognito juga dapat memperkuat mekanisme pengendalian.
3. Reformasi Birokrasi Komprehensif: Reformasi birokrasi harus dilakukan secara menyeluruh di delapan area: manajemen perubahan, penguatan kelembagaan, tata laksana, peraturan perundang-undangan, manajemen sumber daya manusia aparatur, sistem pengawasan, akuntabilitas kerja, dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Keikutsertaan seluruh OPD/SKPD dalam program Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) menjadi langkah strategis untuk memastikan implementasi reformasi yang efektif.
Perencanaan Pembangunan yang Partisipatif dan Berbasis Sains
Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) menjadi tahapan krusial. Musrenbang harus menjadi forum yang mengakomodasi aspirasi dari berbagai pihak, baik kalangan elit politik, tokoh masyarakat, maupun para ahli dan akademisi. Sinergi dan kolaborasi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sangat penting untuk membangun harmonisasi dalam proses perencanaan anggaran. Partisipasi aktif semua pihak, terutama lembaga think tank independen, sangat krusial untuk menghasilkan dokumen perencanaan yang objektif dan berbasis data. Pendekatan scientific-based policy perlu diterapkan dalam proses perencanaan dan perumusan kebijakan untuk meminimalisir mismanagement akibat perencanaan yang kurang akurat.
Kebijakan Anggaran yang Efisien dan Produktif
Penghematan belanja non-operasional, terutama belanja perjalanan dinas, menjadi prioritas utama. Skala prioritas dan efisiensi alokasi anggaran harus ditetapkan dengan cermat. Pendapatan daerah harus diprioritaskan untuk meningkatkan pelayanan umum dan infrastruktur. Efisiensi belanja operasional akan memungkinkan peningkatan alokasi pada program yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat, seperti bantuan sosial dan peningkatan fasilitas umum. Pemerintah daerah perlu fokus pada peningkatan nilai ekonomis Pendapatan Asli Daerah (PAD) non-pertambangan tanpa memberatkan pelaku usaha. Penegakan hukum pajak daerah tetap harus dilakukan dengan strategi yang tepat. Alokasi anggaran harus lebih diarahkan pada belanja produktif yang memiliki efek multiplier pada perekonomian daerah. Belanja konsumtif harus dikontrol dengan cermat, sementara belanja modal perlu dikurangi kecuali untuk investasi infrastruktur yang strategis dan bermanfaat bagi masyarakat luas.