Mushola Al-Ikhlas Palembang: Saksi Bisu Sejarah dan Tradisi Islam di Tepi Sungai Musi

Mushola Al-Ikhlas Palembang: Saksi Bisu Sejarah dan Tradisi Islam di Tepi Sungai Musi

Bertengger di pinggir Sungai Musi, sebuah bangunan tua bernama Mushola Al-Ikhlas berdiri kokoh sebagai saksi bisu perjalanan sejarah dan perkembangan Islam di Palembang. Terletak di Lorong Sungai Buntu, Kelurahan Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, mushola yang dibangun pada akhir abad ke-18 ini menyimpan kisah unik dan menarik, khususnya terkait arsitektur, sejarah, dan praktik keagamaan yang dianutnya hingga kini.

Bangunan bersejarah ini, yang memiliki ukuran kurang lebih 10x12 meter, sebagian besar terbuat dari kayu. Konstruksi kayu ini, selain memberikan kesan adem dan nyaman, juga merefleksikan kearifan lokal dalam penggunaan material bangunan yang sesuai dengan iklim tropis. Lantai terasnya pun terbuat dari kayu, menyatu dengan suasana tenang yang menyelimuti area mushola. Pengunjung yang datang akan disambut dengan pemandangan Sungai Musi yang membentang luas, dengan kapal-kapal yang hilir mudik melintasi alirannya. Pemandangan ini menjadi daya tarik tersendiri, menyuguhkan perpaduan unik antara suasana spiritual dan keindahan alam.

Akses menuju mushola memang sedikit menantang. Kendaraan roda empat sulit menjangkau lokasi karena jalan masuk yang sempit dan diapit bangunan warga. Pengunjung umumnya memarkir kendaraan roda dua di sepanjang lorong sebelum memasuki area mushola. Tidak ada ornamen atau hiasan mencolok di sekitar bangunan, hanya pagar besi berwarna hijau yang mengelilinginya, mencerminkan kesederhanaan dan fokus pada fungsi utamanya sebagai tempat ibadah.

Menurut Abdullah bin Alwi Bin Husein, cucu dari pendiri mushola, Habib Husein bin Abdullah Alkaf, Mushola Al-Ikhlas memiliki sejarah yang panjang dan penuh peristiwa. Mushola ini, yang awalnya dibangun sebagai tempat ibadah dan dakwah Islam, tak luput dari gejolak sejarah. Ia menjelaskan bahwa mushola ini mengalami kerusakan akibat pemboman oleh tentara Belanda selama Perang Lima Hari Lima Malam di Palembang pada tahun 1947. Setelah peristiwa tersebut, mushola dibangun kembali oleh Habib Muhksin Syekh Abu Bakar, dengan mempertahankan bentuk dan material asli sebisa mungkin. Perbaikan yang dilakukan pasca-perang hanya meliputi perluasan area kanan dan kiri untuk mengakomodasi jemaah yang semakin bertambah. Bagian dalam mushola, termasuk mimbarnya yang tunggal, tetap mempertahankan bentuk aslinya hingga kini.

Salah satu keunikan Mushola Al-Ikhlas adalah kepatuhannya terhadap tradisi keagamaan tertentu. Sampai saat ini, mushola ini hanya diperuntukkan bagi jemaah laki-laki. Jemaah perempuan diarahkan untuk melaksanakan salat di masjid atau mushola lain, sesuai dengan penafsiran hukum syariat Islam yang dianut oleh pengelola mushola. Tradisi ini, yang telah berlangsung turun-temurun, menjadi bagian integral dari identitas dan keberlangsungan Mushola Al-Ikhlas hingga saat ini. Mushola ini menjadi bukti nyata bagaimana sejarah, budaya, dan praktik keagamaan berpadu membentuk sebuah situs bernilai historis dan spiritual di tengah kota Palembang.

Meskipun terpencil dan sederhana, Mushola Al-Ikhlas menyimpan kekayaan sejarah dan budaya yang luar biasa. Keberadaannya menjadi pengingat penting akan peran masjid dan mushola sebagai pusat ibadah, sekaligus sebagai tempat pelestarian nilai-nilai agama dan budaya lokal.