Mahkamah Konstitusi Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden: Implikasi dan Tantangan bagi Sistem Politik Indonesia

Mahkamah Konstitusi Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden: Implikasi dan Tantangan bagi Sistem Politik Indonesia

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold/PT) menandai babak baru dalam sejarah politik Indonesia. Keputusan ini mengakhiri praktik lama yang selama lima kali penyelenggaraan pilpres menerapkan persyaratan minimal kursi di DPR atau perolehan suara sah nasional bagi partai politik atau koalisi untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Penghapusan PT ini, yang telah menjadi subjek 33 kali uji materi di MK, merupakan sebuah langkah signifikan yang berpotensi mengubah lanskap politik nasional secara mendalam, sekaligus menghadirkan tantangan baru bagi sistem demokrasi Indonesia.

Sejarah Panjang dan Kontroversi Presidential Threshold

Sejak diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004, PT selalu menjadi sumber kontroversi. Pada Pemilu 2004, ambang batas ditetapkan pada 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara sah nasional. Angka ini kemudian berubah menjadi 25 persen kursi DPR atau 20 persen suara sah nasional pada Pemilu 2009, dan kembali mengalami revisi pada Pemilu 2019 menjadi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Perubahan-perubahan ini, yang dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas politik, seringkali menuai kritik karena dinilai membatasi partisipasi partai-partai kecil dan baru, serta mendorong pembentukan koalisi besar yang lebih didasarkan pada kalkulasi pragmatis daripada ideologi.

Sistem PT, menurut berbagai pengamat, menciptakan beberapa permasalahan krusial. Pertama, pembatasan partisipasi kandidat dari partai-partai kecil yang kesulitan berkompetisi. Kedua, dominasi partai besar yang memiliki cukup kursi atau suara untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden tanpa harus berkoalisi luas. Ketiga, potensi fragmentasi politik, meskipun tujuan awal PT adalah untuk mencegahnya. Ironisnya, PT justru cenderung menciptakan konsolidasi kekuatan di partai-partai besar, yang seringkali berujung pada koalisi yang rapuh dan didasarkan pada kepentingan jangka pendek.

Putusan MK dan Mandat Konstitusional

Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 tidak hanya menghapus PT, tetapi juga memberikan mandat konstitusional kepada pembentuk undang-undang untuk merekayasa penormaan baru. Mandat ini mencakup beberapa poin penting, antara lain:

  • Hak semua partai politik: Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
  • Pengusulan pasangan calon: Pengusulan dapat dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dengan syarat tidak menyebabkan dominasi yang mengurangi variasi pilihan pemilih.
  • Sanksi untuk partai yang tidak mengusulkan: Partai yang tidak mengusulkan calon akan dikenai sanksi.
  • Partisipasi publik: Perubahan UU harus melibatkan partisipasi semua pihak yang berkepentingan, termasuk partai politik tanpa kursi di DPR.

Tantangan dan Solusi: Konvensi Partai Politik

Penghapusan PT membuka peluang bagi lebih banyak calon, namun juga meningkatkan risiko fragmentasi politik dan ketidakstabilan. Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah penerapan konvensi partai politik (primary election), suatu mekanisme yang umum di negara-negara lain. Konvensi dapat membantu menjaring calon presiden dan wakil presiden yang berkualitas, meningkatkan transparansi, dan memperkuat partisipasi publik. Pengalaman Partai Golkar dan Partai Demokrat dalam menyelenggarakan konvensi, meskipun belum sepenuhnya berhasil, dapat menjadi pelajaran berharga.

Konvensi terbuka yang melibatkan partisipasi masyarakat secara luas dapat membantu mengubah persepsi publik terhadap partai politik yang sering dianggap oligarkis. Proses ini akan memungkinkan pemilih untuk mengevaluasi calon berdasarkan rekam jejak, integritas, dan visi mereka, sehingga meningkatkan kualitas demokrasi.

Kesimpulan: Menuju Demokrasi yang Lebih Inklusif?

Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 membawa optimisme, namun juga tantangan. Penghapusan PT membuka jalan menuju demokrasi yang lebih inklusif, tetapi juga memerlukan langkah-langkah strategis untuk mencegah fragmentasi politik dan memastikan stabilitas. Penerapan konvensi partai politik dapat menjadi salah satu solusi untuk menindaklanjuti mandat konstitusional MK dan memperkuat demokrasi di Indonesia. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen seluruh aktor politik dan partisipasi aktif masyarakat.