Minimnya Peminat Sepeda Motor Listrik Harley-Davidson di Indonesia: Antara Tradisi dan Transisi
Minimnya Peminat Sepeda Motor Listrik Harley-Davidson di Indonesia: Antara Tradisi dan Transisi
Pasar otomotif Indonesia, khususnya segmen sepeda motor premium, menyaksikan fenomena menarik terkait minimnya animo konsumen terhadap sepeda motor listrik Harley-Davidson. Meskipun pabrikan legendaris asal Amerika Serikat ini telah meluncurkan LiveWire One pada Mei 2021, dan kemudian S2 Mulholland pada 2024, penjualan di Indonesia masih jauh dari ekspektasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai kesiapan pasar Indonesia untuk menerima inovasi teknologi dalam konteks warisan merek yang kuat seperti Harley-Davidson.
Salah satu faktor yang signifikan, seperti yang diungkapkan oleh Raka Herza, Direktur Anak Elang Harley-Davidson, adalah persepsi konsumen terhadap merek Harley-Davidson itu sendiri. Harley-Davidson selama ini identik dengan suara mesin V-twin yang menggelegar, getaran yang terasa, dan sensasi berkendara yang khas. Karakteristik inilah yang menjadi daya tarik utama bagi sebagian besar penggemarnya. Kehadiran LiveWire, sepeda motor listrik yang senyap dan tanpa getaran, dinilai telah melenceng dari citra tradisional tersebut. "Stigma Harley itu kan American Legend. Cuma kalau listrik orang agak kurang," ungkap Raka dalam wawancara baru-baru ini. Hal ini menunjukkan adanya kendala dalam transisi dari kendaraan bermesin konvensional ke kendaraan listrik, khususnya bagi merek dengan warisan historis yang kuat.
Lebih lanjut, Raka menjelaskan bahwa meskipun pernah mencoba memasarkan LiveWire, baik melalui importir umum maupun display unit di diler, respon pasar Indonesia terbilang sangat minim. "Waktu itu pernah ada importir umum memasukkan, cuma enggak tahu laku atau tidak. Kami pun pernah display satu, enggak ada yang tanya," tambahnya. Ketiadaan minat yang signifikan ini bukan hanya karena perbedaan karakteristik kendaraan, tetapi juga faktor harga jual yang relatif tinggi dan pajak yang tetap dikenakan meskipun merupakan kendaraan listrik. "Paling cuma beberapa orang yang tanya, karena display unit lama, sepertinya harganya tidak masuk. Sudah gitu pajaknya, walaupun kendaraan listrik, karena kena brand Harley jadi tetap saja (mahal)," jelas Raka. Kombinasi faktor harga dan pajak yang tinggi menjadi hambatan signifikan bagi konsumen Indonesia yang ingin memiliki sepeda motor listrik premium.
Kesimpulannya, kegagalan penetrasi sepeda motor listrik Harley-Davidson di Indonesia bukanlah semata-mata karena faktor teknologi, melainkan juga karena faktor psikologis dan ekonomi. Pergeseran persepsi konsumen yang terbiasa dengan ciri khas Harley-Davidson konvensional menjadi tantangan besar bagi pabrikan ini. Strategi pemasaran yang tepat, penyesuaian harga, dan mungkin perlu edukasi yang lebih intensif kepada konsumen Indonesia mengenai keunggulan teknologi kendaraan listrik, sangat dibutuhkan untuk dapat meraih kesuksesan di pasar otomotif dalam negeri. Mungkin perlu strategi yang lebih inovatif untuk mengatasi gap antara ekspektasi konsumen terhadap merek Harley-Davidson dan teknologi listrik yang ditawarkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya minat terhadap motor listrik Harley-Davidson:
- Imej Tradisional: Suara mesin yang khas dan getaran menjadi daya tarik utama Harley-Davidson konvensional. Keheningan motor listrik bertolak belakang dengan ekspektasi sebagian besar konsumen.
- Harga Jual: Harga jual yang tinggi, ditambah dengan pajak yang cukup besar, membuat motor listrik Harley-Davidson kurang terjangkau.
- Kurangnya Edukasi: Kurangnya pemahaman konsumen Indonesia akan keunggulan teknologi dan nilai jual motor listrik premium.
- Strategi Pemasaran: Strategi pemasaran yang kurang efektif dalam mempromosikan nilai lebih motor listrik Harley-Davidson di pasar Indonesia.