Pengeroyokan di Cengkareng Berujung Restorative Justice: Konflik Dua Pengemudi Berakhir Damai
Pengeroyokan di Cengkareng Berujung Restorative Justice: Konflik Dua Pengemudi Berakhir Damai
Sebuah insiden pengeroyokan yang terjadi di Jalan Lingkar Luar Barat, Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat pada Jumat, 14 Maret 2025 pukul 18.30 WIB, telah menemukan penyelesaian melalui jalur restorative justice. Peristiwa bermula dari perselisihan antara dua pengemudi, BA, pengemudi mobil Agya, dan HS, seorang pengendara sepeda motor berusia 56 tahun. Kemacetan lalu lintas di lokasi kejadian diduga menjadi pemicu awal konflik tersebut. Menurut keterangan Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, perselisihan bermula ketika BA tiba-tiba menghentikan kendaraannya, yang kemudian memicu reaksi spontan dari HS dengan memukul kaca belakang mobil Agya.
BA, yang merasa terprovokasi, turun dari mobil dan membalas dengan memukul HS di bagian bibir dan helm. Setelah itu, BA melanjutkan perjalanan. Merasa dirugikan, HS kemudian menghubungi anaknya, ZMI (25 tahun), untuk meminta bantuan dan menceritakan kronologi kejadian. Perasaan kesal yang mendalam karena merasa dipukul, mendorong HS dan ZMI untuk mendatangi BA dan meminta pertanggungjawaban atas tindakannya. Kedatangan mereka yang dipicu oleh emosi berujung pada tindakan merusak spion dan memukul bodi mobil Agya hingga kaca mobil pecah. ZMI turut terlibat dalam aksi ini dengan merusak spion dan memukul bodi mobil dengan helmnya.
Kepolisian dari Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya berhasil menangkap HS dan ZMI pada Senin, 17 Maret 2025. Penyelidikan lebih lanjut mengungkapkan fakta mengejutkan, bahwa baik BA maupun HS telah membuat laporan polisi di Polsek Cengkareng. Kondisi ini menunjukkan adanya saling lapor antara kedua belah pihak. Namun, dalam perkembangannya, kedua pihak sepakat untuk menyelesaikan konflik melalui mekanisme restorative justice. Keputusan ini diambil sebagai upaya penyelesaian yang lebih damai dan menitikberatkan pada pemulihan hubungan antar kedua belah pihak ketimbang jalur hukum formal yang panjang dan berpotensi menimbulkan kerugian lebih besar bagi semua pihak yang terlibat.
Proses restorative justice ini menjadi solusi alternatif untuk kasus-kasus serupa, menekankan pada rekonsiliasi dan pemulihan hubungan dibandingkan dengan penuntutan hukum yang lebih represif. Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana penyelesaian konflik melalui jalur non-litigasi dapat memberikan hasil yang positif, memberikan kesempatan bagi para pihak yang terlibat untuk saling memahami, memperbaiki hubungan, dan mencegah terjadinya konflik serupa di masa depan. Peristiwa ini juga menjadi pengingat penting akan pentingnya pengendalian emosi di jalan raya dan pentingnya mencari solusi damai dalam menghadapi konflik.
Kesimpulan: Konflik antara dua pengemudi di Cengkareng yang awalnya berujung pada tindakan saling menyerang, akhirnya menemukan penyelesaian yang damai dan konstruktif melalui jalur restorative justice. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan non-litigasi dapat menjadi alternatif yang efektif dalam menyelesaikan konflik, khususnya dalam kasus-kasus yang melibatkan emosi dan kesalahpahaman.