Gerakan Nurani Bangsa Tolak Revisi UU TNI: Ancaman Terhadap Supremasi Sipil dan Demokrasi
Gerakan Nurani Bangsa Tolak Revisi UU TNI: Ancaman Terhadap Supremasi Sipil dan Demokrasi
Organisasi masyarakat sipil, Gerakan Nurani Bangsa, mengeluarkan pernyataan tegas terkait revisi Undang-Undang TNI yang tengah memasuki tahap finalisasi di DPR. Dalam konferensi pers di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Selasa (18/3/2025), mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mewakili Gerakan Nurani Bangsa menyampaikan tiga poin kritik tajam terhadap RUU tersebut. Kritik ini dilayangkan mengingat RUU ini dinilai berpotensi melemahkan fondasi demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.
Pertama, Gerakan Nurani Bangsa menyoroti pasal yang mengizinkan penempatan anggota TNI aktif dalam jabatan sipil. Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan bahwa hal ini akan mengaburkan garis antara militer dan sipil, mengurangi fokus TNI pada tugas pokoknya di bidang pertahanan dan keamanan negara. Menurutnya, penugasan anggota TNI aktif di instansi sipil berpotensi mengganggu profesionalisme TNI dan berdampak negatif pada efektivitasnya dalam menjalankan tugas utama. TNI yang terbebani tugas-tugas sipil dikhawatirkan akan kehilangan fokus pada tugas pertahanan dan keamanan negara, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap berbagai ancaman.
Kedua, Gerakan Nurani Bangsa menekankan perbedaan mendasar antara budaya dan mekanisme pengambilan keputusan di lingkungan militer dan sipil. Lukman menjelaskan bahwa sistem hirarki dan komando yang kaku dalam militer berpotensi menghambat partisipasi publik dan proses pengambilan keputusan yang demokratis di instansi sipil. Ia khawatir, penempatan anggota TNI aktif dalam jabatan sipil akan membawa budaya militeristik yang dapat membatasi kebebasan berekspresi dan berpotensi melanggar HAM. Tradisi militer yang mengedepankan kepatuhan dan perintah berkontras tajam dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mengedepankan dialog, musyawarah, dan keterbukaan. Pencampuran keduanya dikhawatirkan akan mengikis nilai-nilai demokrasi.
Ketiga, Gerakan Nurani Bangsa mengingatkan pentingnya menjaga kepercayaan publik terhadap TNI dan DPR sebagai lembaga negara. Lukman menegaskan bahwa revisi UU TNI yang tidak sesuai dengan semangat reformasi dan prinsip supremasi sipil akan merusak kepercayaan publik dan melemahkan legitimasi kedua lembaga tersebut. Ia mendesak agar pemerintah dan DPR berpegang teguh pada amanat UUD 1945 dan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Hal ini penting untuk memastikan bahwa perubahan UU TNI tidak mengarah pada militerisasi kehidupan sipil dan menguatkan prinsip supremasi sipil sebagai fondasi negara demokrasi.
Konferensi pers tersebut dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk Romo Magniz Suseno, Alissa Wahid, Kardinal Suharyo, Karlina Rohima Supelli, Romo Setyo Wibowo, dan tokoh-tokoh kunci lainnya dari Gerakan Nurani Bangsa, yang terdiri dari kalangan agamawan, akademisi, dan aktivis. Mereka turut menyuarakan keprihatinan mendalam akan potensi dampak negatif revisi UU TNI terhadap masa depan demokrasi Indonesia. Proses revisi UU TNI sendiri telah memicu kontroversi, termasuk terkait proses pembahasan yang dinilai kurang transparan, seperti rapat yang digelar di Hotel Fairmont akhir pekan lalu secara tertutup dan tidak mengundang awak media.
Revisi UU TNI ini juga mencakup penambahan usia pensiun prajurit dan perluasan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga. Rencana penambahan masa dinas hingga usia 58 tahun untuk bintara dan tamtama, 60 tahun untuk perwira, bahkan hingga 65 tahun untuk jabatan fungsional, membutuhkan kajian mendalam untuk memastikan tidak menimbulkan implikasi negatif terhadap anggaran negara dan dinamika internal TNI. Perluasan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga juga perlu dikaji secara komprehensif untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil.