Revisi UU TNI Menuai Kritik: Gusdurian Desak Pembatalan, Bukan Penundaan
Revisi UU TNI Menuai Kritik: Gusdurian Desak Pembatalan, Bukan Penundaan
Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, mewakili Gerakan Nurani Bangsa, secara tegas mendesak pembatalan Revisi Undang-Undang (RUU) TNI. Desakan ini disampaikan menyusul rencana pengesahan RUU tersebut dalam rapat paripurna DPR RI. Bukan sekadar penundaan, Alissa Wahid menekankan perlunya pembatalan total karena dinilai tidak memiliki urgensi dan justru berpotensi menggerus profesionalisme TNI. Pernyataan ini disampaikan dalam jumpa pers di STF Driyarkara, Jakarta, Selasa (18/3/2025).
"Pertanyaannya, apa yang mendasari urgensi pengesahan yang begitu terburu-buru? Kami meminta RUU ini dibatalkan, bukan sekadar ditunda," tegas Alissa. Ia menambahkan, RUU TNI yang dinilai tanpa urgensi ini justru berpotensi semakin menjauhkan TNI dari profesionalitasnya. Alissa Wahid mempertanyakan iktikad baik pemerintah dan DPR dalam mendorong pengesahan RUU tersebut menjelang Idul Fitri. Menurutnya, kepercayaan publik terhadap pemerintah dan DPR sangat bergantung pada integritas pembuatan kebijakan, iktikad di baliknya, kompetensi, serta rekam jejak yang dimiliki.
Lebih lanjut, Alissa Wahid mengingatkan bahaya dari produk legislasi yang dihasilkan secara tergesa-gesa. Ia mencontohkan Undang-Undang Cipta Kerja yang diproses secara terburu-buru dan kurang transparan, berujung pada berbagai permasalahan, termasuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. "Hasilnya, kita melihat banyak persoalan muncul setelah UU Cipta Kerja disahkan. Jika RUU TNI ini juga disahkan dengan cara yang sama, apa iktikad di baliknya? Apa yang terjadi jika proses ini dilakukan secara tertutup dan tanpa melibatkan masyarakat sipil?" tanyanya retoris. Ia menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil dalam proses pembuatan undang-undang yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat.
Sementara itu, Komisi I DPR RI telah menyepakati pembahasan RUU TNI ke tingkat II atau rapat paripurna. Ketua Komisi I, Utut Adianto, menyatakan seluruh tahapan proses RUU TNI telah dilalui, termasuk undangan kepada berbagai stakeholder dan rapat dengan Panglima TNI beserta Kepala Staf Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Seluruh fraksi di Komisi I menyatakan sepakat untuk membawa RUU ini ke rapat paripurna untuk disahkan. Proses pengambilan keputusan ini berlangsung cepat dan tanpa perdebatan berarti.
Namun, kritik dari berbagai pihak, termasuk dari Alissa Wahid, menunjukkan adanya kekhawatiran terkait proses pengesahan RUU TNI yang terkesan terburu-buru dan kurang melibatkan partisipasi publik secara luas. Desakan untuk membatalkan RUU ini menjadi sorotan penting, mengingat dampak jangka panjang dari sebuah undang-undang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Transparansi dan partisipasi publik merupakan hal krusial dalam proses pembuatan undang-undang agar tercipta kebijakan yang berkualitas dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Proses pengesahan RUU TNI yang penuh dinamika ini perlu dikaji ulang untuk memastikan terwujudnya pemerintahan yang baik dan demokratis.
Kesimpulan: Desakan pembatalan RUU TNI yang disuarakan oleh Alissa Wahid dan Gerakan Nurani Bangsa mencerminkan keprihatinan akan potensi negatif dari pengesahan UU yang terkesan terburu-buru dan kurang transparan. Proses legislasi yang ideal seharusnya melibatkan partisipasi publik dan didasarkan pada urgensi yang jelas, bukan semata-mata pada kecepatan.