RUU TNI: Jaminan Pemerintah Soal Dwifungsi ABRI Dipertanyakan, Publik Menuntut Transparansi
RUU TNI: Kekhawatiran Publik dan Tuntutan Transparansi
Anggota Gerakan Nurani Bangsa (GNB), Pendeta Darwin Darmawan, menyuarakan kekhawatiran publik terkait revisi Undang-Undang (UU) TNI yang tengah dibahas. Ia mempertanyakan jaminan pemerintah bahwa revisi tersebut tidak akan mengembalikan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) seperti pada masa Orde Baru. Pernyataan ini muncul sebagai tanggapan atas bantahan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polkam), Budi Gunawan, yang memastikan revisi UU TNI tidak bertujuan untuk menghidupkan kembali dwifungsi ABRI. Namun, bagi Pendeta Darwin, pernyataan tersebut dinilai belum cukup meyakinkan.
Kekhawatiran tersebut diperkuat oleh proses pembahasan RUU TNI yang dinilai kurang transparan. Pendeta Darwin menyinggung pertemuan yang digelar di Hotel Fairmont, yang dikawal ketat oleh kendaraan taktis (rantis) Kopassus. Ia mempertanyakan relevansi pengamanan ketat tersebut dalam proses legislasi yang seharusnya terbuka untuk publik. "Pembahasan RUU yang krusial bagi masa depan bangsa ini dilaksanakan di hotel mewah dengan pengamanan ketat, hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan keterbukaan proses legislasi," ungkap Pendeta Darwin dalam jumpa pers di STF Driyarkara, Jakarta, Selasa (18/3/2025). Menurutnya, tindakan tersebut justru memicu kecurigaan dan mempertebal anggapan adanya upaya untuk menyembunyikan hal-hal tertentu.
Lebih lanjut, Pendeta Darwin mendesak pemerintah untuk memberikan jaminan konkret dan transparan terkait kekhawatiran publik mengenai potensi kembalinya dwifungsi ABRI. Ia menegaskan bahwa keengganan pemerintah untuk menjelaskan secara rinci dan terbuka justru akan semakin memperkeruh suasana dan menimbulkan spekulasi yang tidak perlu. "Apa jaminannya?" tanya Pendeta Darwin. Ia bahkan menganjurkan agar RUU TNI dibatalkan jika pemerintah tidak mampu memberikan jaminan yang memadai dan meredam kekhawatiran tersebut. "Jika pemerintah tidak mampu memberikan jaminan yang jelas dan transparan, lebih baik RUU TNI ini dibatalkan," tegasnya. Pernyataan ini disampaikan sebagai bentuk tanggung jawab moral sebagai warga negara yang menginginkan proses legislasi yang demokratis dan akuntabel.
Meskipun menyuarakan kritik, Pendeta Darwin menekankan bahwa hal tersebut bukanlah bentuk penolakan terhadap pemerintah. Ia menegaskan bahwa kritik ini dilandasi oleh tanggung jawab moral dan kecintaan terhadap bangsa dan negara. "Kami sama sekali tidak bermaksud untuk menentang pemerintah. Kritik ini semata-mata untuk memastikan negara dikelola secara demokratis dan transparan," pungkas Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) ini.
Sebelumnya, Menko Polkam Budi Gunawan telah memberikan pernyataan yang memastikan bahwa revisi UU TNI tidak bertujuan untuk mengembalikan dwifungsi ABRI. Namun, pernyataan tersebut nampaknya belum mampu meredam kekhawatiran publik yang menuntut transparansi dan keterbukaan dalam proses pembahasan RUU TNI. Pernyataan Menko Polkam tersebut disampaikan pada Senin (17/3/2025) malam di Lapangan Bhayangkara, Mabes Polri, Jakarta.
Ke depan, publik menantikan respons lebih konkret dari pemerintah terkait tuntutan transparansi dan jaminan yang jelas mengenai revisi UU TNI. Proses legislasi yang demokratis dan akuntabel menjadi kunci utama untuk mencegah spekulasi dan memastikan revisi UU TNI tidak akan mengancam prinsip demokrasi dan kedaulatan sipil.