Mahasiswa Papua Tolak Revisi UU TNI: Kekhawatiran Dwifungsi Militer dan Pengurangan Akses Sipil
Mahasiswa Papua Tolak Revisi UU TNI: Kekhawatiran Dwifungsi Militer dan Pengurangan Akses Sipil
Gelombang penolakan terhadap revisi Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 menggema dari Manokwari, Papua Barat. Mahasiswa setempat mengecam rencana yang dinilai akan membuka peluang bagi perwira aktif TNI untuk menduduki jabatan sipil, sebuah langkah yang mereka pandang sebagai kemunduran dan ancaman terhadap prinsip sipil-militer. Kekhawatiran utama mereka berpusat pada potensi kebangkitan dwifungsi ABRI, di mana militer memiliki peran yang meluas ke ranah politik dan bisnis, yang berpotensi melemahkan kontrol sipil atas militer dan meningkatkan risiko impunitas. Hal ini diutarakan oleh Thomas Ricky Sanadi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Caritas Indonesia, Manokwari, yang mewakili suara mahasiswa Papua lainnya.
Sanadi mengemukakan bahwa revisi UU tersebut, yang memberikan akses luas bagi personel TNI aktif di berbagai kementerian dan lembaga sipil – termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana – justru akan mengurangi peluang bagi masyarakat sipil yang telah berjuang keras menempuh pendidikan tinggi. “Jika TNI aktif diizinkan menduduki jabatan sipil, lalu untuk apa kami bersekolah tinggi?” tanyanya retoris, Selasa (18/3/2025). Ia mempertanyakan esensi pendidikan tinggi jika jalur karier yang tersedia justru didominasi oleh personel militer aktif. Lebih lanjut, Sanadi menyoroti proses pembahasan RUU yang dianggap kurang transparan, dilakukan secara tertutup, dan menimbulkan kecurigaan adanya potensi penyalahgunaan wewenang. Ketidakjelasan proses ini, menurutnya, menyebabkan kurangnya partisipasi publik dan memperdalam ketidakpercayaan.
Ia menambahkan bahwa praktik keterlibatan TNI aktif dalam proyek-proyek sipil di pedalaman Papua, yang diklaim atas alasan keamanan, telah berlangsung sebelum revisi UU ini. “Potensi dwifungsi ABRI sudah mulai terlihat. Kami kerap mendengar anggota TNI aktif bekerja pada proyek-proyek dan sebagainya, bahkan sebelum revisi ini dibahas,” ungkap Sanadi. Kondisi ini, menurutnya, semakin memperkuat argumen penolakan terhadap revisi UU TNI. Kehadiran militer dalam proyek-proyek sipil, menurut Sanadi, menimbulkan konflik kepentingan dan dapat menghambat pembangunan yang berpihak pada kepentingan masyarakat sipil. Mahasiswa Papua menilai revisi ini bukan solusi, melainkan justru akan menambah daftar panjang penderitaan masyarakat Papua.
Penolakan ini bukanlah sekadar reaksi spontan, tetapi merupakan pernyataan sikap yang terukur dan beralasan. Mahasiswa Papua mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali revisi UU TNI dan melibatkan partisipasi publik secara lebih transparan dan substantif dalam proses pengambilan keputusan. Mereka menekankan perlunya menegakkan prinsip supremasi sipil dan menghindari potensi kembalinya praktik-praktik yang pernah menimbulkan masalah serius di masa lalu. Mereka khawatir revisi UU ini justru akan membuka jalan bagi praktik-praktik yang merugikan rakyat, khususnya masyarakat Papua.
Poin-poin penting yang disampaikan oleh mahasiswa Papua antara lain:
- Penolakan terhadap revisi UU TNI yang membuka peluang bagi perwira aktif TNI menduduki jabatan sipil.
- Kekhawatiran kebangkitan dwifungsi ABRI dan melemahnya kontrol sipil atas militer.
- Proses pembahasan RUU yang kurang transparan dan partisipatif.
- Keterlibatan TNI aktif dalam proyek-proyek sipil di Papua yang dianggap menimbulkan konflik kepentingan.
- Kekhawatiran akan pengurangan akses bagi masyarakat sipil yang telah menempuh pendidikan tinggi.
Mahasiswa Papua menegaskan penolakan mereka terhadap revisi ini dengan tegas dan berharap pemerintah mendengarkan aspirasi mereka sebelum mengambil keputusan final terkait revisi UU TNI.