Revisi KUHAP: Penguatan Peran Penyidik dan Implementasi Keadilan Restoratif

Revisi KUHAP: Penguatan Peran Penyidik dan Implementasi Keadilan Restoratif

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tengah menggodok revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bertujuan untuk menyempurnakan sistem peradilan pidana di Indonesia. Setelah melalui proses panjang yang melibatkan berbagai pihak, termasuk advokat, pakar hukum, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Agung, draf revisi KUHAP kini memasuki tahap pembahasan intensif. Revisi ini diharapkan mampu menjawab tantangan hukum modern dan memberikan kepastian hukum yang lebih baik bagi masyarakat. KUHAP yang berlaku sejak 1981 dinilai sudah tidak mampu mengakomodasi perkembangan teknologi dan dinamika sosial terkini. Oleh karena itu, revisi ini menjadi langkah krusial untuk menyesuaikan sistem peradilan pidana dengan kebutuhan zaman.

Salah satu perubahan signifikan dalam draf revisi ini adalah perluasan kewenangan penyidik dalam menerima laporan tindak pidana. Pasal 5 Ayat (1) huruf a kini memasukkan media telekomunikasi dan elektronik sebagai saluran pelaporan resmi, sebuah langkah maju mengingat maraknya kejahatan siber. Definisi penyidik juga diperjelas, membatasi kewenangan hanya pada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang khusus. Lebih lanjut, draf revisi mengklasifikasikan penyidik menjadi tiga jenis: penyidik Polri, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan Penyidik Tertentu. PPNS mencakup penyidik dari berbagai instansi seperti Bea Cukai, Imigrasi, dan lainnya, sementara Penyidik Tertentu mencakup penyidik dari KPK, Kejaksaan, dan OJK, yang memiliki kewenangan khusus sesuai bidang masing-masing. Perincian ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum.

Namun, revisi juga membatasi kewenangan penangkapan dan penahanan. Hanya penyidik Polri dan beberapa penyidik tertentu, seperti dari Kejaksaan, KPK, dan TNI Angkatan Laut, yang memiliki otoritas untuk melakukan penangkapan dan penahanan tanpa perlu perintah lebih lanjut. PPNS dan Penyidik Tertentu lainnya hanya dapat melakukan tindakan tersebut berdasarkan perintah penyidik Polri, kecuali ada pengecualian yang telah ditetapkan. Langkah ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan proses penegakan hukum berlangsung secara terkontrol dan akuntabel. Draf revisi juga secara rinci mengatur berbagai upaya paksa yang dapat dilakukan penyidik, termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan, dengan mekanisme yang lebih terstruktur dan transparan.

Inovasi penting lainnya dalam revisi KUHAP adalah integrasi mekanisme restorative justice atau keadilan restoratif. Mekanisme ini memungkinkan penyelesaian perkara di luar pengadilan, dengan syarat-syarat tertentu seperti pertama kali melakukan tindak pidana, adanya pemulihan keadaan semula oleh pelaku, dan telah tercapai kesepakatan perdamaian antara korban dan pelaku. Proses ini dapat diinisiasi oleh pelaku, korban, atau aparat penegak hukum, namun harus dilakukan tanpa tekanan atau paksaan. Namun, terdapat pengecualian bagi kasus-kasus tertentu seperti tindak pidana yang mengancam keamanan negara, tindak pidana korupsi, terorisme, dan tindak pidana dengan ancaman hukuman berat. Penerapan restorative justice diharapkan dapat memberikan solusi yang lebih humanis dan efektif, khususnya untuk kasus-kasus yang melibatkan konflik antar individu.

Secara keseluruhan, revisi KUHAP ini merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas sistem peradilan pidana di Indonesia, dengan fokus pada penguatan peran penyidik, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, serta implementasi mekanisme keadilan restoratif. Namun, implementasi aturan baru ini tentu membutuhkan sosialisasi dan pelatihan yang intensif bagi seluruh aparat penegak hukum untuk menjamin keberhasilannya dalam praktik.