Revisi KUHAP Batasi Wewenang Penangkapan dan Penahanan Tersangka
Revisi KUHAP Batasi Wewenang Penangkapan dan Penahanan Tersangka
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) terbaru membawa perubahan signifikan dalam mekanisme penegakan hukum di Indonesia, khususnya terkait wewenang penangkapan dan penahanan tersangka. Draf RKUHAP yang diperoleh dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni pada Selasa (18/3/2025) menunjukkan pembatasan yang cukup ketat terhadap jenis penyidik yang berwenang melakukan tindakan tersebut.
Pasal 6 ayat (1) RKUHAP mengklasifikasikan penyidik menjadi tiga kategori: penyidik Polri, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan penyidik tertentu yang mencakup instansi seperti Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lainnya. Namun, kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan tidak diberikan secara merata kepada semua kategori tersebut. Pasal 87 dan Pasal 92 RKUHAP secara tegas membatasi tindakan penangkapan dan penahanan hanya bagi penyidik Polri dan beberapa penyidik tertentu yang telah mendapatkan pengecualian.
Lebih rinci, Pasal 87 ayat (3) menjelaskan bahwa PPNS dan penyidik tertentu umumnya dilarang melakukan penangkapan tanpa perintah tertulis dari penyidik Polri. Namun, ayat (4) pasal yang sama memberikan pengecualian yang penting. Kejaksaan Republik Indonesia, KPK, dan TNI Angkatan Laut dikecualikan dari aturan tersebut, sehingga penyidik dari instansi-instansi ini berwenang melakukan penangkapan tanpa memerlukan persetujuan dari penyidik Polri. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan atas kapabilitas dan kewenangan khusus yang dimiliki oleh instansi-instansi tersebut dalam penanganan kasus tertentu.
Situasi serupa juga terlihat dalam aturan penahanan. Pasal 92 ayat (3) RKUHAP menetapkan bahwa PPNS dan penyidik tertentu lainnya tidak memiliki wewenang untuk menahan tersangka kecuali atas perintah tertulis dari penyidik Polri. Namun, kembali, ayat selanjutnya memberikan pengecualian yang sama seperti pada pasal mengenai penangkapan. Penyidik dari Kejaksaan Republik Indonesia, KPK, dan TNI Angkatan Laut tetap memiliki wewenang untuk melakukan penahanan tanpa perlu mendapat persetujuan dari pihak kepolisian. Pengecualian ini mempertimbangkan spesifikasi tugas dan wewenang masing-masing lembaga penegak hukum dalam menangani jenis kejahatan tertentu.
Perubahan ini dalam RKUHAP bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dan pengawasan terhadap proses penegakan hukum, khususnya dalam hal penangkapan dan penahanan. Dengan membatasi wewenang tersebut, diharapkan dapat meminimalisir potensi penyalahgunaan wewenang dan memastikan bahwa tindakan penangkapan dan penahanan dilakukan secara sah dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Namun, mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban yang ketat perlu diimplementasikan untuk memastikan efektivitas dari pembatasan wewenang ini. Perubahan ini menuntut koordinasi yang lebih solid antar lembaga penegak hukum untuk memastikan kelancaran proses penegakan hukum di Indonesia.
Perlu dipahami bahwa rincian dan implikasi dari pasal-pasal tersebut masih memerlukan kajian lebih lanjut, terutama terkait implementasi di lapangan. Penjelasan lebih detail dari pihak pembuat RKUHAP dan diskusi publik yang lebih luas akan membantu pemahaman yang lebih komprehensif mengenai perubahan ini dan dampaknya terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia.