Strategi Jakarta Atasi Polusi Udara: Belajar dari Paris dan Bangkok, Tambah Ribuan Stasiun Pemantau

Strategi Jakarta Atasi Polusi Udara: Belajar dari Paris dan Bangkok, Tambah Ribuan Stasiun Pemantau

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengambil langkah signifikan dalam upaya penanggulangan polusi udara yang terus menjadi perhatian publik. Mengambil inspirasi dari keberhasilan kota-kota besar dunia seperti Paris dan Bangkok dalam memonitor dan mengendalikan kualitas udara, Jakarta berencana untuk memperluas jaringan stasiun pemantau kualitas udara (SPKU) secara masif. Saat ini, Jakarta hanya memiliki 111 SPKU, jauh tertinggal dibandingkan Paris dengan 400 SPKU dan Bangkok dengan 1.000 SPKU. Langkah ekspansi ini diyakini sebagai kunci untuk intervensi yang lebih cepat dan akurat dalam mengatasi masalah polusi.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto, menyatakan bahwa penambahan SPKU hingga mencapai 1.000 unit merupakan target utama. Program ini akan difokuskan pada pengembangan SPKU berbiaya rendah namun tetap handal dalam memberikan data akurat. Dengan peningkatan jumlah SPKU, diharapkan cakupan pemantauan kualitas udara akan jauh lebih luas dan detail. Hal ini memungkinkan deteksi sumber pencemaran udara dengan lebih presisi, termasuk mengidentifikasi polutan yang berasal dari luar wilayah Jakarta dan masuk ke Ibu Kota. Selain itu, keterbukaan data kualitas udara juga menjadi kunci keberhasilan strategi ini. Transparansi data akan memungkinkan intervensi yang lebih efektif dan terarah, sehingga upaya penanggulangan polusi dapat dilakukan secara sistematis dan terukur.

Lebih lanjut, Asep Kuswanto menekankan perlunya langkah-langkah berkelanjutan dan komprehensif dalam mengatasi polusi udara. Intervensi sesaat dinilai tidak cukup efektif dalam jangka panjang. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkomitmen untuk menerapkan strategi yang terintegrasi dan berkelanjutan untuk memastikan kualitas udara Jakarta terus membaik.

Sementara itu, Kepala Subbidang Informasi Pencemaran Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Taryono Hadi, memberikan analisis terkait pengaruh iklim terhadap kualitas udara Jakarta. Ia menjelaskan bahwa fenomena El Nino yang diprediksi tidak akan terjadi secara global tahun ini berdampak pada pergeseran musim kemarau. Musim kemarau di Indonesia, yang biasanya dimulai pada awal April, diperkirakan akan mundur hingga akhir bulan, dengan puncaknya diprediksi pada bulan September. Pergeseran ini memiliki implikasi signifikan terhadap kualitas udara, karena pada bulan-bulan kering seperti Juni hingga Agustus, konsentrasi polutan seperti PM 2.5 cenderung meningkat tajam akibat rendahnya curah hujan yang menghambat proses penguraian polutan di atmosfer.

Curah hujan berperan krusial dalam mengurangi polusi udara. Rendahnya curah hujan akan menyebabkan partikel polutan sulit terurai, sehingga konsentrasi polutan di udara meningkat. Pemahaman yang komprehensif terhadap faktor-faktor iklim dan pola cuaca sangat penting dalam perencanaan dan implementasi strategi penanggulangan polusi udara di Jakarta. Dengan menggabungkan data pemantauan kualitas udara yang akurat dan pemahaman iklim yang komprehensif, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berharap dapat menciptakan udara yang lebih bersih dan sehat bagi warganya.

Langkah-langkah yang diambil oleh Pemprov DKI Jakarta ini menunjukkan komitmen yang kuat untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta. Dengan mengadopsi strategi yang terinspirasi dari kota-kota besar dunia dan menggabungkan data pemantauan dengan pemahaman iklim, diharapkan Jakarta dapat mengatasi masalah polusi udara secara efektif dan berkelanjutan.