Revisi UU TNI Menuai Pro dan Kontra: Usia Pensiun, Jabatan Sipil, dan Bisnis Prajurit Menjadi Sorotan

Revisi UU TNI: Perdebatan Sengit di Senayan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebuah langkah yang telah memicu perdebatan sengit di kalangan anggota DPR, pakar militer, dan organisasi masyarakat sipil. Revisi UU ini mencakup beberapa poin krusial, diantaranya penyesuaian usia pensiun prajurit, pengaturan penempatan personel TNI di jabatan sipil, serta peraturan terkait larangan atau pembatasan kegiatan bisnis bagi prajurit. Pembahasan ini telah menarik perhatian publik dan menimbulkan berbagai reaksi, baik dukungan maupun penolakan.

Sebelum pembahasan resmi dimulai, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) telah menyampaikan keberatannya kepada DPR. Dalam surat resmi yang disampaikan pada Senin, 3 Maret 2025, KontraS menyatakan penolakannya terhadap revisi UU TNI dan UU Polri, menganggap substansi revisi yang diusulkan tidak mampu menyelesaikan permasalahan kultural di internal kedua institusi tersebut. KontraS juga menyoroti minimnya keterlibatan masyarakat dalam proses pembahasan RUU ini, sebuah hal yang dinilai krusial untuk memastikan revisi tersebut sejalan dengan kepentingan nasional dan aspirasi rakyat.

Penempatan TNI di Jabatan Sipil: Antara Kebutuhan dan Potensi Konflik

Salah satu poin yang paling kontroversial dalam revisi UU TNI adalah terkait penempatan prajurit aktif dalam jabatan sipil. Mayjen (Purn) TB Hasanuddin dari Komisi I DPR menyatakan bahwa penempatan ini tidak lagi relevan jika dikaitkan dengan doktrin dwifungsi ABRI yang telah dihapus. Namun, ia menekankan perlunya persyaratan ketat dan keahlian khusus bagi prajurit yang akan menduduki jabatan sipil. Hal ini untuk memastikan kesesuaian kompetensi dan menghindari potensi penyalahgunaan wewenang. Hasanuddin juga mengingatkan pentingnya mempertimbangkan ketersediaan sumber daya manusia TNI, dan menghindari pengurangan sumber daya di tubuh TNI itu sendiri serta mencegah terganggunya karir Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sudah ada.

Usia Pensiun TNI: Pertimbangan Anggaran dan Efisiensi

Usulan penambahan usia pensiun prajurit TNI juga menjadi sorotan. Irjen Pol (Purn) Frederik Kalalembang dari Fraksi Demokrat menyoroti tingginya jumlah perwira TNI yang saat ini berstatus non-job. Beliau mempertanyakan perlunya penambahan usia pensiun, terutama mengingat dampak anggaran negara yang signifikan jika usia pensiun dinaikkan. Kalalembang mencontohkan, Polri tidak mengajukan usulan serupa dalam revisi UU Polri. Beliau mengingatkan potensi pemborosan dana negara yang mencapai triliunan rupiah jika usia pensiun prajurit dinaikkan.

Larangan Bisnis Prajurit: Antara Kesejahteraan dan Disiplin

Mayjen TNI (Purn) Rodon Pedrason mengajukan pandangan berbeda terkait larangan bisnis bagi prajurit, khususnya bintara dan tamtama. Ia menekankan rendahnya pensiun yang hanya 70 persen dari gaji pokok, serta minimnya peluang pekerjaan tambahan bagi prajurit selama masa aktif tugas. Rodon menyarankan agar prajurit didorong untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan sejak dini untuk menjamin masa depan ekonomi mereka pasca pensiun. Ia juga menyoroti minimnya kesempatan pendidikan lanjutan bagi prajurit sebelumnya dan sulitnya kenaikan pangkat bagi prajurit yang berkuliah.

Kesimpulannya, revisi UU TNI melibatkan banyak pertimbangan yang kompleks, meliputi aspek ketahanan negara, efisiensi anggaran, keadilan sosial, dan kesejahteraan prajurit. Perdebatan yang sangat intens di DPR menunjukkan betapa pentingnya proses pembahasan yang transparan dan melibatkan semua pihak berkepentingan untuk menghasilkan revisi UU yang berkeadilan dan bermanfaat bagi semua pihak.