Kebebasan Akses Warga Dusun Pusung Duwur ke Kawasan Konservasi TNBTS: Sebuah Celah dalam Penegakan Hukum Kasus Ladang Ganja

Kebebasan Akses Warga Dusun Pusung Duwur ke Kawasan Konservasi TNBTS: Sebuah Celah dalam Penegakan Hukum Kasus Ladang Ganja

Kasus penemuan 59 ladang ganja seluas 0,6 hektar di Blok Pusung Duwur, wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, membuka pertanyaan serius terkait pengawasan dan penegakan hukum di kawasan konservasi. Terungkap fakta mengejutkan bahwa warga Dusun Pusung Duwur, Desa Argosari, Kecamatan Senduro, selama ini leluasa memasuki kawasan hutan tersebut tanpa hambatan berarti. Hal ini terungkap dalam persidangan tiga terdakwa kasus ladang ganja, Tomo, Tono, dan Bambang, di Pengadilan Negeri Lumajang pada Selasa (18/3/2025).

Ketiga terdakwa, yang merupakan warga asli Dusun Pusung Duwur, secara konsisten menyatakan kebebasan akses mereka ke kawasan hutan konservasi. Mereka mengaku tidak pernah mendapatkan larangan maupun sosialisasi dari pihak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) maupun pemerintah desa terkait aturan memasuki kawasan konservasi dan larangan menanam tanaman terlarang seperti ganja. Pernyataan ini diperkuat dengan keterangan Bambang yang menjelaskan bahwa tidak ada rambu larangan masuk yang terpasang di sekitar lokasi ladang ganja, yang berjarak sekitar 2 kilometer dari permukiman warga. Akses menuju lokasi ladang ganja, menurut Bambang, melewati lahan pertanian warga sebelum memasuki kawasan hutan konservasi. Lebih mengejutkan lagi, Bambang mengaku sama sekali tidak pernah bertemu dengan petugas polisi hutan selama melakukan aktivitas penanaman ganja.

Ketiadaan rambu larangan, minimnya sosialisasi, dan absennya pengawasan petugas menjadi celah yang dimanfaatkan para pelaku untuk melakukan aktivitas ilegal tersebut. Fakta ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum di kawasan konservasi TNBTS. Pertanyaan mendasar muncul: bagaimana mungkin ladang ganja seluas 0,6 hektar dapat tumbuh dan berkembang selama ini tanpa terdeteksi oleh pihak berwenang? Apakah ada kegagalan koordinasi antar instansi terkait, seperti TNBTS, pemerintah desa, dan aparat penegak hukum?

Kasus ini juga mengungkap adanya enam terdakwa, dengan satu orang masih buron. Semua terdakwa merupakan warga Dusun Pusung Duwur. Pengakuan para terdakwa menjadi bukti penting yang menggarisbawahi urgensi peningkatan pengawasan dan sosialisasi kepada masyarakat sekitar kawasan konservasi. Langkah-langkah konkret perlu segera diambil untuk menutup celah-celah hukum yang memungkinkan aktivitas ilegal seperti ini terjadi di masa mendatang. Hal ini meliputi pemasangan rambu-rambu larangan yang jelas dan mudah dipahami, peningkatan frekuensi patroli dan pengawasan oleh petugas, serta program sosialisasi yang komprehensif dan berkelanjutan kepada masyarakat sekitar kawasan konservasi.

Ke depannya, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengelolaan dan pengawasan kawasan konservasi TNBTS. Kolaborasi yang kuat antar instansi terkait sangat penting untuk mencegah terulangnya kejadian serupa dan memastikan perlindungan kawasan konservasi serta penegakan hukum yang efektif.

  • Kesimpulan: Kasus ladang ganja di Gunung Semeru ini bukan hanya soal penindakan terhadap para pelaku, tetapi juga sebuah refleksi kritis terhadap sistem pengelolaan dan pengawasan kawasan konservasi yang perlu diperbaiki secara menyeluruh. Ke depan, diperlukan sinergi yang lebih baik antara berbagai pihak terkait agar kejadian serupa dapat dicegah.