Anjloknya IHSG: Sebuah Studi Kasus Ketidakpastian Kebijakan dan Kepercayaan Investor
Anjloknya IHSG: Sebuah Studi Kasus Ketidakpastian Kebijakan dan Kepercayaan Investor
Penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang signifikan dalam beberapa bulan terakhir menjadi fenomena paradoksal di tengah kondisi makroekonomi Indonesia yang secara umum menunjukkan kinerja positif. Surplus neraca perdagangan dan neraca pembayaran, ekspansi sektor manufaktur yang ditunjukkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur di atas 50, serta stabilitas harga komoditas utama seperti CPO, batu bara, dan nikel, seharusnya menjadi pendorong kepercayaan investor. Namun, realitanya IHSG justru mengalami kontraksi tajam, menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai faktor-faktor yang mendasari penurunan tersebut.
Salah satu faktor kunci yang diidentifikasi adalah ketidakpastian kebijakan pemerintah. Meskipun secara teoritis defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi sesuai prinsip Keynesian, defisit yang terjadi justru didominasi oleh pembayaran bunga utang. Hal ini menunjukkan kurangnya efek pengganda (multiplier effect) yang diharapkan. Lebih lanjut, kebijakan fiskal yang diambil—termasuk kenaikan tarif pajak dan pengurangan belanja—bertentangan dengan prinsip ekspansi fiskal yang seharusnya dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pascapandemi. Surplus keseimbangan primer yang dicapai sebesar Rp 48,1 triliun justru ditekan oleh beban bunga utang sebesar Rp 31,2 triliun, sehingga APBN tetap defisit Rp 79,3 triliun dalam dua bulan pertama tahun 2025. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran investor terhadap pengelolaan keuangan negara.
Ketidakpastian kebijakan diperparah dengan serangkaian keputusan pemerintah yang dinilai spontan, sporadis, dan kontroversial. Revisi UU TNI, Polri, dan KUHAP, serta kebijakan efisiensi anggaran yang terkesan terburu-buru, telah memicu ketidakpercayaan di kalangan investor. Ditambah lagi, munculnya kasus-kasus korupsi besar di beberapa BUMN semakin memperburuk persepsi negatif terhadap iklim investasi di Indonesia. Beredarnya isu pengunduran diri sejumlah menteri ekonomi yang kredibel juga turut menambah kekhawatiran.
Faktor eksternal juga berperan. Kenaikan suku bunga The Fed di Amerika Serikat terbukti menjadi daya tarik bagi investor asing untuk memindahkan modalnya ke pasar yang dianggap lebih menguntungkan. Hal ini mengakibatkan capital outflow dari pasar saham Indonesia. Tren penurunan IHSG yang dimulai sejak pelantikan Presiden Prabowo Subianto menunjukkan adanya penurunan kepercayaan investor terhadap arah kebijakan pemerintahan baru, meskipun kinerja ekonomi makro menunjukkan tanda-tanda positif.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa Presiden perlu membuat pilihan yang jelas dalam hal kebijakan ekonomi. Apakah akan tetap berpegang pada kebijakan incremental yang telah berjalan selama ini, atau beralih ke kebijakan proteksionisme yang lebih berorientasi pada kedaulatan ekonomi nasional? Pilihan pertama menuntut konsistensi dan menghindari kebijakan-kebijakan kontroversial yang dapat menggoyahkan kepercayaan investor. Pilihan kedua, meskipun berpotensi memberikan dampak positif jangka panjang, memiliki risiko yang tinggi, termasuk capital outflow dan guncangan ekonomi di jangka pendek. Keadaan ini menuntut pemerintah untuk transparan dan proaktif dalam mengkomunikasikan kebijakannya, sehingga dapat meyakinkan investor dan mencegah penurunan IHSG yang lebih lanjut.
Kesimpulan: Penurunan IHSG mencerminkan kompleksitas tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi dan kepercayaan investor. Perpaduan antara kebijakan fiskal yang kurang efektif, ketidakpastian kebijakan, faktor eksternal, dan masalah transparansi pemerintahan telah menciptakan iklim investasi yang kurang kondusif. Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah konkret untuk mengatasi permasalahan ini, termasuk meningkatkan transparansi, konsistensi kebijakan, dan komunikasi yang efektif dengan para pelaku pasar. Kegagalan dalam hal ini dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.